Diduga Tim Sidang Mewakili Dirjen Pajak Beri Tanggapan Tidak Berdasar Hukum Atas Surat Kuasa Penggugat 

Uritanet,- Di persidangan keempat di Pengadilan Pajak, Penggugat menyampaikan beberapa poin keberatan kepada Majelis Hakim diantaranya Tergugat (Tim Sidang) tidak berwenang mewakili Dirjen Pajak (DJP) untuk menghadiri persidangan. Karena Tergugat hanya menyampaikan 1 (satu) Surat Tugas untuk 24 (dua puluh empat) sengketa pajak padahal di persidangan sebelumnya sudah pernah diperingatkan oleh Hakim Anggota namun tidak diindahkan, sehingga mutatis mutandis sepatutnya Tergugat menyampaikan 24 (dua puluh empat) Surat Tugas untuk 24 (dua puluh empat) sengketa pajak. Atau dengan kata lain Surat Tugas Tergugat diberlakukan sama dengan Surat Kuasa Khusus Penggugat berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 5 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER 001/PP/2010 tentang Tata Tertib Persidangan Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “PER 001/2010”) (Kuasa Hukum yang mewakili Pemohon).

Sidang Keempat kali ini yang diperiksa, diadili dan akan diputus oleh Majelis Hakim VIII A, terdiri dari, Erry Sapari Dipawinangun SH, MH (Hakim Ketua), Nany Wartiningsih SH, MSi, dan Benny Fernando Tampubolon SE, MM, MAk, MHum, CA, masing – masing selaku Hakim Anggota. Dan seperti diketahui, pada 21 Maret 2022, Pukul 15.00 WIB, PT Jesi Jason Surja Wibowo yang diwakili kuasa hukumnya dari Rey & Co Jakarta Attorneys At Law, Alessandro Rey, SH, MH, MKn, BSC, MBA (selanjutnya disebut “Penggugat”) menghadiri sidang keempat di Pengadilan Pajak, melawan Direktur Jenderal Pajak yang diwakili Dody Doharman dan Tumijan Kriswanto (selanjutnya disebut “Tergugat”).

Banding/Penggugat di persidangan harus mendapat Surat Kuasa Khusus dari Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk setiap Sengketa Pajak) dan Pasal 4 ayat 7 PER 001/2010 (Bagi Pegawai Negeri Sipil yang mewakili Terbanding/Tergugat, Surat Tugas yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dipersamakan dengan Surat Kuasa Khusus).

Dengan demikian selain dari Tergugat hadir di Pengadilan Pajak tanpa 24 (dua puluh empat) Surat Tugas, Surat Tugas Tergugat juga  tidak mencantumkan Nomor Perkara untuk masing-masing 24 (dua puluh empat) Surat Tugas, sehingga melangggar syarat-syarat yang harus tercantum dalam Surat Kuasa Khusus untuk beracara di dalam Pengadilan yang diatur secara teknis pada Bagian E Angka 1 dan 3 Surat Keputusan Ketua Makhamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007 (Selanjutnya disebut “KKMA 032/2007”).

…”Surat Kuasa Khusus harus memuat secara jelas dan rinci mengenai hal-hal yang dikuasakan dengan menyebutkan pihak-pihak yang berperkara, Keputusan TUN objek sengketa dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaannya. Khusus bagi Tergugat harus menyebutkan nomor perkaranya (Pasal 57 UU PERATUN, Pasal 1792 KUH Perdata, SEMA No. 2 Tahun 1991, SEMA No. 6 Tahun 1994)” …

Kemudian selain tidak adanya Surat Tugas Tergugat sebanyak 24 (dua puluh empat) tersebut dan tidak mencantumkan Nomor Perkara, Surat Tugas tergugat juga tidak mencantumkan Nomor Surat Panggilan Sidang dan Tanggal Surat Panggilan sidang, sehingga melanggar prosedur penerbitan surat tugas pada halaman 13 Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 65/PJ/2012 tentang Tata Cara Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “SE 65/2012”) (“Diisi dengan nomor surat panggilan sidang dan Diisi dengan tanggal surat panggilan sidang”).

“Bahwa berdasarkan uraian alasan dan dasar hukum diatas, Majelis Hakim VIIIA Pengadilan Pajak seharusnya menyatakan Surat Tugas Tergugat tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya menyatakan Tergugat tidak berwenang mewakili Direktur Jenderal Pajak dalam perkara a Quo. Namun karena tidak adanya jawaban yang jelas dan tindakan yang tegas dari Majelis Hakim VIIIA maka Penggugat meminta supaya Keberatan dicatat di Berita Acara Persidangan supaya ketika Penggugat mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali(PK), Memori PK Penggugat bersesuaian dengan Keberatan Penggugat yang dicatat dalam berita acara persidangan, ”jelas Rey. 

Bahwa Kemudian Tergugat (Tim Sidang) telah secara melawan hukum menandatangani Penjelasan Tertulis karena kewenangan untuk menandatangani Penjelasan Tertulis merupakan kewenangan pimpinan Tim Sidang selaku pejabat Eselon II dan juga telah menyampaikan Penjelasan Tertulis yang tidak ditandatangani oleh pimpinan Tim Sidang selaku Pejabat Eselon II tersebut di muka persidangan Pengadilan Pajak, maka Tergugat (Tim Sidang) secara melawan hukum telah melanggar amanat angka 5 huruf d Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65/PJ/2012 Tentang Tata Cara Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “SE-65/2012”) (“Penjelasan tertulis ditandatangani oleh pejabat eselon II atasan Tim Sidang” ).

Atas tindakan tersebut maka Tergugat telah melanggar hukum acara di pengadilan pajak karena tidak ada satu pun norma hukum yang mengatur kebebasan Tergugat untuk menandatangi dan menyampaikan Penjelasan Tertulis yang ditandatangani sendiri oleh Tergugat (Tim Sidang).

Selanjutnya Penggugat menyampaikan bantahan atas Tanggapan Tergugat yang telah disampaikan pada sidang ketiga tanggal 7 Maret 2022 yang mana Tergugat mengajukan keberatan pertama yakni mengenai Kuasa Penggugat karena tidak memenuhi ketentuan formal sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut “UU KUP”) Jo. Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut “PMK 229/2014”) yang mana menurut Tergugat “yang dapat menjadi kuasa mewakili wajib pajak hanyalah seorang konsultan pajak  dan karyawan wajib pajak dengan persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang – undangan  di bidang perpajakan, memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa, memiliki  Nomor Pokok Wajib Pajak, telah menyampaikan SPT Tahun Pajak Terakhir, dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, oleh karena itu Syarat tersebut adalah bersifat kumulatif, maka jika satu dilanggar surat kuasa khusus tersebut tidak berlaku” Tegas Dody Doharman selaku wakil dari Tergugat.

Kemudian Tergugat juga menyampaikan keberatan kedua mengenai “Surat Kuasa Khusus Penggugat juga dibuat tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 49 Peraturan Pemerintah  Nomor 74 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut “PP 74/2011”), sehingga syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif, jika salah satu dilanggar maka melanggar ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka dengan kata lain Surat Kuasa Khusus Penggugat tidak dapat diterima  dan Gugatan Penggugat harus dinyatakan batal demi hukum karena cacat formil atau Niet Ontvankelijke (NO)” tambah Dody Doharman selaku wakil dari Tergugat.

Penggugat perlu jelaskan “yang pertama, kuasa itu dapat dibagi menjadi dua yaitu: kuasa di dalam pengadilan dan diluar pengadilan. Jika dikaitkan dengan keberatan tergugat dalam persidangan kedua yang mana mengenai seorang kuasa Penggugat yang diatur di dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP (Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan) Jo. Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014 (Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. konsultan pajak; dan b. karyawan wajib pajak) dan Pasal 4 ayat (1) PMK 229/2014 (Seorang Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di  bidang perpajakan; b. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa; c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; d. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan); adalah kuasa yang diatur untuk melaksanakan hak dan kewajiban wajib pajak di luar Pengadilan Pajak atau yang digunakan untuk keperluan perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak termasuk di Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, bukan dalam hal beracara di dalam Pengadilan Pajak.

Kemudian terkait kuasa di luar pengadilan yang menurut Tergugat hanya terbatas pada konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 ayat 4 Jo Pasal 4 ayat 1 PMK 229/2014 Jo. Pasal 49 ayat (2) PP 74/2011 dan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) PP 74/2011 adalah penafsiran yang menyesatkan karena pemberian kuasa tidak dibatasi pada konsultan pajak dan karyawan wajib pajak saja atau tidak bersifat limitatif kepada konsultan pajak karyawan wajib pajak saja tetapi juga kepada setiap orang yang mempunyai kompetensi  di bidang perpajakan yang dibuktikan dengan sertifikat brevet sebagaimana telah dimuat dengan tegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 (selanjutnya disebut “Putusan MK 63/2017”) yang pada pokoknya menerangkan bukan hanya konsultan pajak dan karyawan wajib pajak yang dapat menjadi kuasa wajib pajak tetapi setiap orang termasuk advokat dapat menjadi wakil wajib pajak sepanjang mempunyai kompentensi di bidang perpajakan”.

Sehingga perlu Penggugat jelaskan ketentuan Pasal 49 ayat 2 PP 74/2011 Jo. Penjelasan Pasal 49 ayat 3 PP 74/2011 dan Pasal 2 ayat 4 Jo. Pasal 4 ayat 1 PMK 229/2014 adalah turunan dari Pasal 32 ayat 3a UU KUP yang telah dibatalkan oleh Putusan MK No. 63/2017 dan telah diubah dalam Pasal 2 angka 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut “UU HPP”).

Bahwa dalam Norma Pasal 2 angka 9 UU HPP (Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat 3, harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua) yang pada pokoknya telah membatalkan Pasal 32 ayat 3a UU KUP dan mengakomodir Putusan MK 63/2017, Dalam Norma Pasal 2 angka 9 UU HPP tersebut secara tegas tidak diatur mengenai pembatasan seorang kuasa, dengan kata lain setiap orang dapat menjadi seorang kuasa di bidang perpajakan sepanjang mempunyai kompetensi tertentu di bidang perpajakan.

 

Dan berdasarkan Prinsip/Asas Hukum Lex Posteriori derogat Legi Priori yang artinya ketentuan hukum yang terbaru mengesampingkan ketentuan hukum yang sebelumnya, maka Putusan MK 63/2017 Jo. Pasal 2 angka 9 UU HPP telah mengesampingkan Pasal 32 ayat 3a UU KUP Jo. Pasal 49 ayat 2 Jo. Penjelasan Pasal 49 ayat 3 PP 74/2011 Jo. Pasal 2 ayat 4 Jo. Pasal 4 ayat 1 PMK 229/2014, sehingga dengan berlakunya UU HPP telah mengesampingkan UU KUP, PP 74/2011, dan PMK 229/2014 sepanjang mengenai penunjukkan seorang kuasa, ujar Alessandro Rey selaku Kuasa Hukum Penggugat.

Bahwa kemudian Penggugat akan membuktikan kepada Tergugat fakta yuridis Penggugat adalah seorang Kuasa yang sah di dalam Pengadilan Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak atau dengan kata lain Pengguat adalah Kuasa Hukum Wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan sebagai kuasa hukum di Pengadilan Pajak sesuai amanat Pasal 34 ayat (2) UU PP.

...”Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. mempunyai pengetahuan luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan; c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”…

Karena Penggugat mempunyai pengetahun yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga Penggugat demi hukum berwenang melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak di dalam Pengadilan Pajak.

Bahwa Penggugat juga telah memenuhi persyaratan sebagai Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak dibuktikan dengan telah diperpanjangnya Izin Praktek Beracara Penggugat di Pengadilan Pajak berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor KEP-855/PP/IKH/2021 Tanggal 7 September 2021 yang merupakan wujud pelaksanaan amanat Pasal 6 ayat (1) (“Untuk memperoleh Izin Kuasa Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemohon harus menyampaikan permohonan secara tertulis sesuai jenis Izin Kuasa Hukum yang dimohonkan kepada Ketua melalui Sekretariat Pengadilan Pajak”) dan Pasal 10 ayat (1) (“(1) Izin Kuasa Hukum diterbitkan oleh Ketua”) Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER 01/PP/2018 tentang Tata Cara Permohonan Izin Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut “PER 01/2018”).

Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penggugat demi hukum adalah seorang Kuasa yang sah di dalam Pengadilan Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak dan dalam sengketa a quo, Penggugat adalah kuasa hukum yang sah dari PT Jesi Jason Surya Wibowo.

Bahwa selanjutnya Tanggapan tergugat yang kedua mengenai Surat Kuasa Khusus Penggugat yang dibuat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yang mana maksud tergugat adalah Pasal 32 ayat (3) UU KUP (Orang Pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan) Jo. Pasal 49 ayat (4) PP 74/2011.

“Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat: a. nama, alamat, dan tandatangan di atas materai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak pemberi kuasa; b. nama, alamat, dan tandatangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa; dan c. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan) Jo. Pasal 7 ayat (1) PMK 229/2014 (Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b paling sedikit memuat; a. nama, alamat, dan tanda tangan di atas materai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak Pemberi Kuasa; b. nama, alamat, dan tanda tangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak Penerima Kuasa, dan; c. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan yang mencakup keperluan perpajakan, jenis pajak, dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, Tahun Pajak) merupakan Surat Kuasa Khusus di luar Pengadilan, yang digunakan untuk keperluan perpajakan di Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, bukan dalam hal dalam beracara di dalam Pengadilan Pajak”, tegas Alessandro Rey, Kuasa Hukum Penggugat.

Bahwa adapun “Surat Kuasa Khusus di luar pengadilan yang menurut Tergugat dibuat tidak sesuai dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP Jo. Pasal 49 ayat (4) PP 74/2011 Jo. Pasal 7 ayat (1) PMK 229/2014 adalah merupakan persyaratan pembuatan surat kuasa khusus bagi konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak dan bukan diperuntukkan untuk yang bukan konsultan pajak dan bukan karyawan di luar Pengadilan Pajak, lagipula tidak ada norma hukum yang mengatur tentang format pembuatan Surat Kuasa Khusus diluar pengadilan karena PMK 63/2017 dan UU HPP tidak secara tegas mengatur mengenai format Surat Kuasa Khusus bagi yang bukan Konsultan Pajak & bukan Karyawan Wajib Pajak yang mengharuskan untuk mencantumkan NPWP.

Putusan MK 63/2017 Jo. UU HPP juga tidak menyatakan secara tegas dengan tidak dicantumkannya NPWP pemberi dan penerima Kuasa maka Surat Kuasa Khusus menjadi tidak dapat diterima atau menghapuskan hak Penerima Kuasa untuk melakukan hak dan kewajiban perpajakan Pemberi Kuasa.

Adapun UU KUP sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP adalah Hukum Formil dibidang perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan adalah turunan dari Hukum Formil sepanjang diamanatkan oleh UU KUP stdtd. UU HPP sebagai UU yang lebih tinggi daripada PMK sebagai peraturan yang lebih rendah karenanya surat kuasa yang dibuat untuk kepentingan beracara di Pengadilan Pajak tidak diatur dalam UU KUP dan PMK 229/2014 tetapi tunduk pada UU PP karena ketentuan yang mengatur surat kuasa khusus yang digunakan di dalam Pengadilan Pajak adalah UU PP sebagaimana terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) UU PP (“Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus”)  Jo. Huruf E angka 1 KKMA 032/2007, bukan Peraturan Menteri Keuangan.

Bahwa selanjutnya Penggugat menolak Tanggapan Tergugat yang menyatakan Surat Kuasa Khusus Penggugat tidak memenuhi ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (Selanjutnya disebut “SEMA 07/2012”) karena di dalam SEMA 07/2012 diatur mengenai Surat Kuasa Khusus di dalam Pengadilan Pajak sebagai lex specialis sehingga ketentuan tentang Surat Kuasa yang berlaku untuk beracara di Pengadilan Pajak adalah Surat Kuasa yang Khusus dari bentuk dan isinya sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat 1 UU Pengadilan Pajak (Selanjutnya disebut “UUPP”).

Bahwa berdasarkan ketentuan diatas, Maka SEMA 07/2012 telah sesuai dengan Pasal 34 ayat 1 UUPP dan KKMA 032/2007, sehingga Surat Kuasa Penggugat demi hukum adalah surat Kuasa Khusus yang sah dan dapat diterima di muka Pengadilan Pajak.

Perlu diketahui di dalam norma pasal 34 ayat 1 UUPP hanya mengatur secara garis besar mengenai Kuasa Hukum dan Surat Kuasa Khusus, Namun di ayat berikutnya yaitu ayat 2 dan ayat 3 pasal 34 hanya mengatur mengenai syarat-syarat menjadi Kuasa Hukum dan siapa saja yang dapat menggunakan jasa Kuasa Hukum dan kapan Kuasa Hukum tersebut diperlukan, tetapi Pasal 34 ayat 2 UUPP (“Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan; c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.”) dan Pasal 34 ayat 3 UUP (“Dalam hal kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili pemohon banding atau penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pegawai, atau pengampu, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan.”) tidak mengatur lebih lanjut dan tegas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Surat Kuasa Khusus termasuk format dan keharusan mencantukan NPWP Pemberi dan Penerima Kuasa.

Karena Pasal 34 ayat 1 UUPP hanya menyebutkan satu kali mengenai Surat Kuasa Khusus tetapi tidak menjelaskan dalam penjelasannya mengenai format Surat Kuasa Khusus dan kewajiban mencantumkan NPWP Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa, Maka Mahkamah Agung telah mengatur lebih lanjut di dalam KKMA 32/2007 sebagai bentuk hukum acara yang harus dipatuhi oleh pihak yang berperkara di Pengadilan sebagaimana Penggugat telah uraikan diatas.

Selain Pasal 34 tidak mengatur format tertentu dan mengharuskan untuk mencantumkan NPWP Pemberi dan Penerima Kuasa, perlu Tergugat ketahui norma dalam Pasal 34 ayat (1) UU PP tidak mengharuskan penunjukkan satu kuasa hukum harus dengan satu surat kuasa khusus atau dengan kata lain norma tersebut tidak melarang penunjukkan lebih dari satu kuasa hukum dengan satu surat kuasa khusus dan juga tidak dilarang oleh Pasal 34 ayat 1 UUPP Jo. SEMA 7/2012 Jo. KKMA 032/2007 sehingga Surat Kuasa Khusus dari Pemberi Kuasa kepada lebih dari satu Penerima Kuasa demi hukum dapat dibenarkan.

Penggugat juga menolak Tanggapan Tergugat yang menyatakan Surat Kuasa Khusus Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 147 ayat (1), Pasal 142 ayat (1) dan Pasal 144 ayat (1) Rbg (Selanjutnya disebut “Pasal Rbg”) dan SEMA No. 2 Tahun 1959 tanggal 19 Januari 1959 (selanjutnya disebut “SEMA 2/1959), SEMA No. 5 Tahun 1962 tanggal 30 Juli 1962 (Selanjutnya disebut “SEMA 5/1962), SEMA No. 01 Tahun 1971 tanggal 23 Januari 1971 (Selanjutnya disebut “SEMA 01/1971”), SEMA No. 6 Tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 (Selanjutnya disebut “SEMA 6/1994”) dikarenakan seluruh dasar hukum diatas sudah tidak berlaku.

Sedangkan Rbg adalah hukum acara yang digunakan dalam perkara perdata atau hukum formil yang digunakan untuk membuktikan hukum materil dibidang keperdataan atau dengan kata lain sama dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang digunakan untuk menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga tidak ada kaitannya dengan hukum acara di Pengadilan Pajak untuk membuktikan sah atau tidaknya.

Surat Kuasa Penggugat. Sedangkan SEMA 2/1959 dan SEMA 5/1962 adalah SEMA yang sudah tidak berlaku dan telah dicabut dengan SEMA 01/1971 sejak tanggal 23 Januari 1971 sehingga dasar hukum tersebut tidak dapat lagi digunakan untuk menilai kebenaran Surat Kuasa Khusus Penggugat di Pengadilan Pajak. Adapun SEMA 01/1971 tidak mengatur mengenai garis besar syarat-syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus yang harus dipenuhi dan jika tidak dipenuhi dapat menyebabkan Surat Kuasa Khusus menjadi tidak sah, meskipun syarat-syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus yang disebutkan oleh Tergugat pun telah terpenuhi seluruhnya di dalam Surat Kuasa Khusus Penggugat yang mana telah menyebutkan dengan jelas dan spesifik dipergunakan untuk mengajukan Gugatan kepada Pengadilan Pajak mewakili PT Jesi Jason Surja Wibowo.

Sedangkan mengenai format Surat Kuasa Khusus di dalam Pengadilan hanya tunduk kepada Bagian E Angka 1 dan 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 32 Tahun 2007 (selanjutnya disebut “KKMA 32/2007”), Pasal 57 PERATUN, Pasal 1792 KUHPer, SEMA Nomor 2 Tahun 1991, dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994, yang mana di dalam peraturan tersebut tidak mengatur mengenai keharusan untuk mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa pada Surat Kuasa Khusus untuk Keperluan beracara di dalam Pengadilan Pajak, tambah Alessandro Rey Kuasa Hukum Penggugat.

“Bahwa adapun contoh Surat Kuasa Khusus Penggugat yang telah penggugat gunakan di Pengadilan Pajak adalah Surat Kuasa Nomor 252/SK-SR/RnC/VIII/2020 dalam perkara mewakili Sri Roosmini pada Majelis IB, Surat Kuasa Nomor 740/SK-AAK/RnC/I/2021 dalam perkara mewakili PT Atlas Anugerah Kencana pada Majelis XIIA, Surat Kuasa Nomor 717/SK-MGP/RnC/XII/2020 dalam perkara mewakili PT Medico Global Pratama pada Majelis XVIIIB , dan Surat Kuasa Nomor 252/SK-SR/RnC/VIII/2020 dalam perkara mewakili PT Surya Bumi Sentosa pada Majelis IB. Surat Kuasa Khusus yang sama yang digunakan Penggugat tanpa mencantumkan NPWP Pemberi dan Penerima Kuasa dalam perkara dan tidak dipermasalahkan oleh Majelis Pengadilan Pajak, bahkan gugatan Penggugat dalam perkara mewakili Sri Roosmini pada Majelis IB dikabulkan untuk seluruhnya, sehingga sepatutnya Majelis Hakim VIIIA Pengadilan Pajak menyatakan Keberatan Tergugat (Tim Sidang) tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada, tambah Rey mengakhiri.

)**Bambang Tjoek

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *