Jakarta (Uritanet) :
Industri musik Indonesia kembali diguncang oleh perdebatan hangat seputar hak cipta dan sistem royalti. Situasi ini memuncak pasca vonis dalam kasus Agnezmo di Pengadilan Niaga, yang memantik diskusi publik dan memperjelas bahwa sistem perlindungan terhadap pencipta lagu di Indonesia masih jauh dari kata ideal.
Demikian hal tersebut mengemuka saat AKSI menggelar Diskusi Terbuka menyikapi dinamika dalam industri musik yang terjadi khususnya di sektor pertunjukan komersial/live music concert, berlangsung Kamis, 10 April 2025, Artotel Gelora Senayan, Jl. Pintu Satu Senayan, Gelora, Jakarta.
AKSI selaku Asosiasi yang menaungi para pencipta lagu memperhatikan perdebatan – perdebatan di ruang publik hingga ke warganet dan masyarakat awam terkait hak cipta, ekosistem industri musik, dan sistem tata kelola royalti.
Perlu diketahui, masyarakat awam mungkin belum sepenuhnya memahami pentingnya hak cipta dalam ekosistem musik. Namun bagi pencipta lagu, hak ini adalah fondasi utama dari kerja kreatif mereka. Sayangnya, sistem yang ada justru membingungkan dan sering kali tidak berpihak pada kepastian hukum.
Misalnya, meski Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 2014 dalam implementasinya masih menyisakan banyak celah. Seperti pada pasal-pasal krusial seperti Pasal 9, Pasal 23 Ayat 5, Pasal 80 dan 81, belum ditindaklanjuti dengan peraturan turunan yang memadai.
Dalam praktiknya, penyelenggara konser kerap mengabaikan kewajiban mereka untuk membayar royalti. Padahal, UUHC dan PP 56 Tahun 2021 secara tegas menyebut bahwa beban pembayaran royalti ada di pihak penyelenggara, bukan artis atau pelaku pertunjukan.
Di sinilah masalah menjadi rumit, saat Diskusi Terbuka yang menghadirkan Anggota DPR RI Ahmad Dhani Prasetyo, Piyu Ketua Umum AKSI, Ari Bias, Kadri Muhammad, SH, Minola Sebayang, SH, MH, dan Ryan Pono, terus berkembang dalam perdebatannya.
Kurangnya pengawasan dari pemerintah dan minimnya sosialisasi menyebabkan aturan yang sudah ada tidak berjalan efektif. Sistem yang semestinya menjadi pelindung karya justru membuka ruang untuk ketidakadilan struktural.
LMK dan LMKN: Perlu Reformasi Menyeluruh
Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dirancang sebagai tulang punggung distribusi royalti. Namun struktur yang tumpang tindih dan pelibatan pihak ketiga sebagai kolektor royalti justru menimbulkan kebingungan. Pada kasus Agnezmo, bahkan tidak ada perwakilan pemerintah yang hadir untuk memastikan hak pemilik cipta ditegakkan.
Reformasi total dibutuhkan. Merger LMK dan LMKN menjadi satu entitas yang efisien dan transparan bisa menjadi solusi jangka panjang. Pemerintah juga harus hadir sebagai regulator aktif, bukan hanya sebagai pengamat pasif.
Belakangan, penerapan sistem direct licensing*l atau lisensi langsung menuai polemik. Di satu sisi, sistem ini dianggap efisien. Namun di sisi lain, banyak yang menilai bahwa kebijakan ini dijalankan tanpa kebijaksanaan yang matang, bahkan kelompok tertentu dicurigai menyimpan agenda tersembunyi dibalik itu semua.
Lantaran penerapan yang tergesa-gesa ini, kabarnya telah menimbulkan ketakutan di kalangan penyanyi, dan pelaku industri lainnya. Banyak event organizer ragu mengundang musisi karena takut tersangkut kasus hukum akibat aturan direct lisensi yang belum jelas. Ini menciptakan efek domino: pekerjaan hilang, kepercayaan luntur, dan solidaritas industri runtuh.
Regulasi yang Inklusif dan Berkeadilan
Namun demikian, Pencipta Lagu adalah arsitek dari seluruh ekosistem musik. Tanpa mereka, industri ini tidak akan memiliki nyawa. Namun dalam sistem yang ada, para pencipta lagu justru terpinggirkan. Ironisnya, mereka sering kali terpaksa memperjuangkan haknya sendiri tanpa dukungan sistem yang kuat.
Seperti disampaikan Kadri Muhammad dalam diskusi terbuka di Jakarta, “Kalau belum ada aturan, kita buat aturannya.” Kalimat ini mencerminkan semangat pembaruan hukum berbasis keadilan dan pengalaman nyata.
Sudah saatnya pemerintah, DPR, dan pelaku industri duduk bersama menyusun aturan main yang adil dan transparan. Revisi UU Hak Cipta tidak bisa ditunda lebih lama. Payung hukum harus mampu melindungi semua pihak—dari komposer hingga pelaku pertunjukan—tanpa tumpang tindih dan konflik interpretasi.
Dalam kerangka itu, prinsip one gate policy dalam pembayaran royalti perlu diterapkan secara konsisten. Pemerintah wajib memfasilitasi sistem yang lebih mudah diakses, terstruktur, dan berpihak pada kepastian hukum.
Reformasi sistem hak cipta dan royalti bukan soal teknis semata, melainkan soal keberlangsungan ekosistem kreatif nasional. Dibutuhkan kebijaksanaan, bukan kecepatan. Dibutuhkan dialog, bukan tekanan sepihak.
Kini, saatnya kita kembali menata industri musik dengan prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan.
)***Tjoek