Uritanet, – 23 Agustus 1857 Charles Baudelaire menerbitkan buku yang berisi 100 puisi. Angka seratus diyakini oleh pria kelahiran 9 April 1821 ini sebagai simbol kesempurnaan. Les Fleurs du Mal judulnya, judul yang berani, lama dicari, dan akhirnya ditemukan bukan oleh Baudelaire atau penerbitnya Poulet-Malassis, tetapi oleh Hippolyte Babou, seorang kawan sastrawan.
Antologi ini menampilkan diri sebagai karangan bunga puitis, terbuat dari bunga-bunga langka, beracun, dan beraroma asing. Puisi-puisi Baudelaire yang sebelumnya tersebar di koran-koran avant-garde belum pernah disatukan dalam satu volume.
Le Corsaire dan Revue des Deux-Mondes menampilkan puisi Baudelaire sejak 1841 dengan puisi pertama A une dame créole, sebuah soneta aleksandrina yang terinpirasi oleh pengembaraannya berlayar dan singgah di Pulau La Réunion, Prancis. Bukan menggembara atas keinginan sendiri seperti Rimbaud, melainkan atas perintah ayah tirinya, Jacques Aupick.
Selama bertahun-tahun kumpulan puisi ini diimpikan terbit dan akan menjadi karya membahana, selama bertahun-tahun pula Baudelaire merangkai bunga-bunga puitiknya dengan “arsitektur rahasia” sehingga keseluruhannya terbaca seperti novel: punya awal, konfliks, dan akhir.
Namun, impiannya menghadirkan sebuah antologi puisi yang cetar segera punah. Hanya dalam beberapa hari saja sejak buku ini terbit, publik Prancis segera geger. Les Fleurs du Mal menuai skandal dan langsung dibawa ke pengadilan. Pasal ‘penghinaan moral publik serta penghinaan terhadap agama’ dituduhkan kepada Baudelaire oleh rezim represif Kekaisaran Napoléon.
Kritik sinis jurnalis Figaro, Gustave Bourdin lah yang menjadi pemicunya. Ia mengatakan bahwa Les Fleurs du Mal merupakan ‘rumah sakit terbuka bagi demensia jiwa’.
Baudelaire bergegas mengumpulkan pamflet artikel pendukung sebagai pledoi atau nota pembelaan. Ia meminta bantuan Edmond Thierry, Barbey d’Aurevilly, Asselineau, Sainte-Beuve, Flaubert, hingga Hugo yang sedang dalam pengasingan di Pulau Guenersey.
Pada saat kemalangan itu, Jules Barbey d’Aurevilly menyatakan terang-terangan kecintaannya terhadap puisi-puisi Baudelaire di media. Victor Hugo yang merupakan paus sastra Prancis saat itu membela dan menyatakan bahwa puisi-puisi Baudelaire mampu membuatnya merinding.
Namun, Théophile Gautier yang disebut Charles Baudelaire sebagai ‘Penyair Sempurna’ dan kepadanyalah Les Fleurs du Mal didedikasikan, tidak memberi pembelaan secara terbuka.
Sebetulnya bukan hanya Baudelaire yang bermasalah dengan Louis-Napoléon Bonaparte ketika itu, banyak sastrawan bermasalah pula seperti Victor Hugo, George Sand, Leconte de Lisle dan banyak lagi. Bahkan beberapa bulan sebelumnya, Gustave Flaubert juga dituduh dengan pasal yang sama untuk novelnya Madame Bovary.
Tapi berbeda nasib dengan Flaubert yang akhirnya bisa melenggang, pada tanggal 21 Agustus 1857, Baudelaire dan penerbitnya Poulet-Malassis harus menerima hukuman berupa denda 300 franc untuk Baudelaire dan 100 franc untuk penerbit, serta sensor terhadap enam puisi yaitu Lesbos, Femmes damnées (Delphine et Hippolyte), Le Léthé, A celle qui est trop gaie, Les Bijoux, Les Métamorphoses du vampire.
Kerusakan material tidak cukup besar untuk penerbitnya Poulet-Malassis karena buku itu langsung terjual habis, tapi Baudelaire sangat terluka, baik secara finansial maupun emosional. Selain karyanya yang sudah dikebiri dan dimutilasi, sejak penjatuhan hukuman itu, tulisan-tulisan barunya tidak lagi dimuat di koran.
Editor surat kabar sangat curiga dan antipati ketika ia memberi beberapa halaman esai, prosa, atau puisi. Sebagai orang yang menghidupi dirinya dari menulis, tentu situasi keuangannya menderita. Ditambah masalah asmara dengan gundiknya Jeanne Duval yang hanya sayang bila ada uang serta masalah kesehatan –sifilis– yang dideritanya, telah meruntuhkan semua harapan. Ia semakin masuk ke jurang ‘spleen’ dengan menghisap banyak ganja dan berpindah-pindah rumah untuk menghindari tagihan hutang.
Empat tahun kemudian, tahun 1861, Baudelaire menerbitkan edisi kedua Les Fleurs du Mal yang merupakan edisi revisi. Sejumlah 35 puisi baru ditambahkan (termasuk puisi-puisi untuk Victor Hugo sebagai rasa terima kasih) dan menghilangkan enam puisi yang disensor pada edisi sebelumnya.
Total puisi sesuai judul adalah 129, akan tetapi, apabila diurai lebih jauh, total sebenarnya adalah 149 puisi karena di dalamnya banyak terdapat sub-sub puisi; termasuk lembar Dedikasi dan kata pengantar Kepada Pembaca. Meskipun tidak masuk ke dalam bab, tetapi keduanya bersifat dan berbentuk puisi.
Kemunculan edisi ketiga pada tahun 1868 disusun oleh Charles Asselineau dan Théodore Faullain de Banville setahun setelah kematian Baudelaire pada 1867. Mereka berdua menyertakan 30 puisi tambahan yaitu 10 puisi dalam bab Les Epaves; empat puisi dalam bab Poèmes Pothumes; dan 16 puisi lainnya.
Meski bertajuk edisi paripurna, edisi 1868 ini dianggap oleh para puritan sebagai dokumentasi karya-karya Baudelaire saja. Edisi terbaik Les Fleurs du Mal tetap edisi kedua (1861) karena bunga-bunga puisi itu dirangkai oleh Baudelaire sendiri. Dan, edisi inilah yang diterjemahkan.
Demi kelengkapan koleksi puisi Baudelaire dalam bahasa Indonesia sekaligus menjawab rasa penasaran pembaca, “seperti apa rupa enam puisi terkutuk itu?”, maka saya terjemahkan dan sertakan pula keenam puisi yang sempat disensor selama hampir 100 tahun di edisi pertama (1857). Dan setelah lebih dua tahun bergelut dengan teks Les Fleurs du Mal, akhirnya terjemahan tersebut sudah terselesaikan.
)**naning scheid