Pemerintah Belum Punya Langkah Antisipasi Hadapi Resesi Dunia

Uritanet, – Pemerintah dinilai belum memiliki langkah antisipasi menghadapi ancaman resesi dunia yang diprediksi terjadi tahun depan. Dirinya belum melihat strategi dan langkah-langkah konkret pemerintah dalam menghadapi ancaman krisis atau resesi dunia yang semakin nyata, jelas Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (6/10). Dan salah satu indikasi ancaman resesi global adalah kenaikan suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral di seluruh dunia.

Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, krisis sovereign debt atau hutang negara, khususnya negara-negara berkembang semakin meninggi. Gejolak harga-harga komoditi pangan dan energi juga semakin tidak terkendali. Gandum yang menjadi komoditas utama food crisis semakin sulit untuk didapat. Padahal, ancaman bahaya kelaparan karena risiko pangan diprediksi akan terus meningkat pesat di Benua Afrika bagian Timur dan Benua Afrika bagian Barat.

Baca Juga :  LaNyalla : Tanah Abang Sepi, Perubahan Pola Belanja atau Penurunan Daya Beli

“Saya melihat kegelisahan di tingkat akar rumput. Sebab, kelangkaan pangan di pasar-pasar tradisional hingga saat ini terus berlangsung,” tutur LaNyalla.

Survei terbaru Bloomberg mencatat Indonesia masuk ke dalam negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi. Dari daftar 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi, Indonesia berada di peringkat 14.

Resesi adalah situasi yang terjadi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal berturut-turut. Indonesia pernah mengalaminya pada tahun 2020 silam dan risiko ini tidak boleh disepelekan karena dampaknya akan sangat nyata menimpa masyarakat. Jika suatu negara mengalami resesi, maka dampaknya ke masyarakat adalah sulitnya memperoleh barang-barang dari sisi keterjangkauan harga karena harga barang melambung tinggi.

Baca Juga :  Ciliwung River Waste Audit for Environmental Sustainability, Tiga Lembaga Tagih Janji Negara dan Produsen Ritel

Dampak selanjutnya, adalah banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kenaikan harga bahan baku pada tingkat produsen. Di sisi lain, permintaan atau konsumsi dari masyarakat akan menurun, sehingga terjadi penurunan omzet.

Hal ini mengakibatkan perusahaan akan menekan biaya produksi dengan cara menekan biaya upah tenaga kerja dan menghentikan sementara serapan tenaga kerja.

)***

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *