URITANET,- Kesultanan Buton dahulu dikenal sebagai kerajaan. Namun, status itu beralih menjadi kesultanan bercorak Islam pada masa pemerintahan Raja ke-6, yakni La Kilaponto atau Raja Murhum (1491-1537).
Kerajaan Buton berdiri dari kedatangan orang-orang Melayu ke wilayah Buton pada akhir abad ke-13 M. Ada empat tokoh Melayu yang datang namun tidak bersamaan, yaitu Sipanjongan, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo. Mereka membawa pengikut masing-masing.
Pada tahun 1332 M, desa-desa bentukan bangsa Melayu dan komunitas-komunitas adat yang sudah ada sebelumnya bercampur sehingga berdirilah Kerajaan Buton. Raja pertama kerajaan Buton adalah seorang perempuan, bergelar Rajaputri Wa Kaa Kaa.
Sebelum menjadi kerajaan Islam, Buton diduga dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha dari Kerajaan Majapahit. Sebab dalam kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca, disebutkan adanya Pulau Butuni untuk menjelaskan Pulau Buton yang merupakan salah satu wilayah yang ditaklukkan Gadjah Mada.
Agama Islam berkembang pesat di Buton ketika pemerintahan Sultan Murhum, atau Sultan Muhammad Isa Khalifatul Khamis.
Setelah masa-masa pemerintahan Islam itu, Kesultanan Buton mulai diakui di Nusantara. Bahkan hingga ke jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Sultan Buton pun dianugerahi gelar Khalifatul Khamis oleh Khalifa Otsmaniah, gelar yang umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
Artinya, Khilafa Islamiyah di Turki-Istanbul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam, mengakui kedaulatan Kesultanan Buton yang menjalankan secara penuh syariat islam dalam pemerintahan.
Kesultanan Buton membangun benteng pertahanan yang menjadi benteng terluas di dunia. Benteng itu dibuat pada 1634, masa pemerintahan Sultan La Buke dengan panjang 2.740 meter untuk melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Benteng dilengkapi 16 bastion atau menara pengintai, dan 12 pintu gerbang.
Perjalanan Kesultanan Buton juga diwarnai dengan hubungan baik dengan VOC. Namun, tahun 1637 kedekatan itu berakhir. Keduanya berperang. Tapi, benteng Kesultanan Buton rupanya terlalu kuat untuk VOC. Perang kembali terjadi pada 1752, 1755, dan 1776, karena VOC melakukan kelicikan dalam perdagangan rempah-rempah. Di bawah pimpinan Sultan La Karambau, Buton berhasil mengatasi Belanda.
Namun, muncul konflik internal di kerajaan hingga memperlemah Kesultanan Buton. Hingga akhirnya saat Indonesia merdeka pada 1945 Kesultanan Buton masuk dalam pemerintahan Indonesia, wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kini Kesultanan Buton masih ada, pemegang tahta adalah Sultan Buton ke-40 Paduka Yang Mulia La Ode Muhammad Izzat Manarfa. Rumah tempat tinggal Sultan Buton ke-40 yang disebut Istana Sultan Falihi. Selain sebagai rumah tinggal, tempat tersebut juga difungsikan sebagai museum dengan nama Museum Baa’dia atau Pusat Kebudayaan Wolio. La Ode M Izzat Manarfa adalah putra tertua dari Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Rumah tersebut berdiri dua tingkat dengan dominasi kayu dan disangga dengan umpak batu dibuat dari batu karang. Tingkat pertama pada bagian depan dijadikan sebagai tempat menyimpan benda-benda kerajaan seperti guci, wadah dari kuningan dan perak, keramik, baju-baju, dan foto-foto. Di tingkat kedua juga dijadikan sebagai tempat menyimpan benda-benda peninggalan kerajaan seperti wadah kuningan, gerabah, keramik, senjata (meriam kecil), gong, patung, tombak, bendera dan benda-benda lainnya.
Sultan Buton ke-40 mengatakan, meski respons Pemerintah Kota Baubau terhadap situs cagar budaya cukup bagus, namun realisasi di lapangan masih perlu ditingkatkan. Kita masih mengelola dan merawat peninggalan Kesultanan ini secara pribadi. Kiranya perlu pemerintah ikut mengulurkan tangan dalam pemeliharaannya.
Di dalam Benteng Keraton Buton terdapat juga Masigi Ogena atau Masjid Agung, Baruga Keraton, makam-makam sultan, dan pejabat tinggi serta rumah adat malige. Terdapat pula Sulana Tombi, yaitu tiang bendera setinggi 21 meter yang dibangun pada tahun 1712 di masa Sultan Buton Sakiuddin Darul Alam.
Tiang bendera terbuat dari kayu jati ini berada di halaman Masjid Agung. Dipakai untuk mengibarkan longa-longa, bendera milik kesultanan berbentuk segitiga. Di halaman masjid juga terdapat jangkar raksasa yang diambil dari kapal dagang VOC yang karam di perairan Buton pada 1592.
(**jegegtantri
Share Article :