Menjaga Warisan, Mengatur Kota: Strategi Yogyakarta Menjawab Tantangan Kota Modern

Kota Yogyakarta tengah menyelaraskan dua tantangan besar dalam era kota modern: menjaga warisan budaya dunia dan mengelola sampah secara bijak

Uritanet – Yogyakarta, Mei 2025 – Uritanet
Kota Yogyakarta tengah menyelaraskan dua tantangan besar dalam era kota modern: menjaga warisan budaya dunia dan mengelola sampah secara bijak. Ditemui di rumah Dinas Wali Kota Yogyakarta, pemerintah Kota di bawah kepemimpinan Wali Kota dr. Hasto Wardoyo, menegaskan komitmennya melalui serangkaian kebijakan yang membumi, berbasis praktik terbaik masyarakat.

Wali Kota Yogyakarta, dr. Hasto Wardoyo

“Saat kita membuat regulasi, biasanya kita mulai dari praktik yang sudah dilakukan masyarakat,” ujar Wali Kota Hasto, dalam satu sesi wawancara baru-baru ini.

Salah satu contohnya adalah kebijakan penanganan sampah yang kini lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi warga. Ada subsidi dan penyesuaian retribusi berdasarkan kelas ekonomi, sehingga beban pengelolaan tak berat di pundak masyarakat kecil. Saat ini, 45 depo sampah di seluruh Kota Yogyakarta telah dibersihkan dan dikelola dengan standar yang lebih baik.

Urus Kota dengan Skema “Money Follow”

Dalam hal anggaran, Hasto memperkenalkan dua pendekatan penting: Money Follow Programme dan Money Follow Function. Money Follow Programme mengarahkan dana ke program-program prioritas yang dapat menghasilkan dampak besar, sedangkan Money Follow Function lebih menekankan pada keadilan distribusi anggaran meski dampaknya tak selalu besar.

“Keseimbangan keduanya penting, apalagi saat pendapatan daerah sedang menurun,” ujar politisi PDIP ini. Strategi ini menjadi cara Yogyakarta bertahan di tengah keterbatasan fiskal.

Wali Kota Yogyakarta saat menemui masyarakat

Melindungi Sumbu Filosofi: Warisan Dunia UNESCO

Sebagai kota warisan dunia yang diakui UNESCO, Yogyakarta menjaga kawasan Sumbu Filosofi—jalur imajiner dari Tugu, Kraton, hingga Panggung Krapyak dengan berbagai pembatasan. Salah satunya adalah penetapan kawasan tanpa rokok. Namun, tantangan terbesarnya justru terletak pada perubahan kebiasaan masyarakat.

“Kita belum sampai pada tahap sanksi TIPIRiNG, tapi edukasi terus kita lakukan,” lanjut Hasto. Edukasi menjadi senjata utama dalam menjaga perilaku warga tanpa mengedepankan hukuman.

Yogyakarta dan Urbanisasi Terbalik

Menariknya, Yogyakarta menghadapi fenomena urbanisasi yang unik. Alih-alih ledakan penduduk lokal, jumlah warga asli justru menurun. “Rata-rata anak per perempuan hanya 1,65. Di bawah standar nasional,” menurut Hasto. Namun, jumlah penduduk sementara seperti mahasiswa dan pekerja tetap tinggi. Hal ini mendorong Pemkot untuk memperketat regulasi terkait hunian mahasiswa demi menjaga keteraturan kota.

Baca Juga :  KASAL Pimpin Upacara HUT ke-76 Korps Marinir Tahun 2021

Pariwisata Berkualitas, Bukan Sekadar Jumlah

Meski kunjungan wisatawan domestik tinggi, Wali Kota menyoroti nilai ekonominya yang masih rendah. Ia mencontohkan perbandingan antara Gunungkidul dan Badung, Bali. Oleh karena itu, Pemkot kini mengarahkan fokus pada peningkatan wisatawan mancanegara, terutama melalui pelestarian budaya dan keaslian arsitektur kota.

“Kita jaga fasad kota agar tetap otentik. Itu yang dicari wisatawan asing,” jelas mantan Bupati Kulon Progo ini.

UMKM dan Batik Semar Jadi Andalan

Di sektor ekonomi lokal, Pemkot menggulirkan program Batik Semar (Segoro Amarto) yang kini menjadi seragam wajib di sekolah dan instansi pemerintahan. Langkah ini berdampak langsung pada peningkatan permintaan batik dari UMKM lokal.

“Ini langsung memicu produksi massal. UMKM bergairah lagi,” ungkap Hasto. Bahkan, PDAM Yogyakarta kini didorong untuk memproduksi air kemasan sendiri agar masyarakat tak bergantung pada produk luar.

Membangun Kota Lewat Kesadaran Kolektif

Lebih dari sekadar aturan, Hasto menekankan pentingnya kesadaran kolektif warga. Ia memberi contoh bagaimana pengeluaran rokok dalam satu desa bisa mencapai angka fantastis: Rp113 juta per tahun.

“Kita sering bicara miskin, tapi belanja rokok satu desa bisa segitu. Itu data,” ucapnya sambil tersenyum.

Yogyakarta kini bukan sekadar kota budaya. Ia menjelma sebagai laboratorium hidup bagi kota-kota lain: bagaimana warisan dilestarikan tanpa melupakan tantangan zaman, dan bagaimana kota diatur dengan hati serta kesadaran bersama.

**Benksu

Bagikan ke orang lain :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *