Usut Dugaan Korupsi Dana CSR BP Tangguh Teluk Bintuni

Uritanet, Jakarta –

Kejaksaan Agung (Kejagung) RI dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI didesak mengusut dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) BP Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, demikian jelas Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma.

Lantaran peran stakeholder terkait dalam persoalan ini sangat diperlukan sejak unsur tanggung jawab sosial (TJS) perusahaan atau CSR dimasukkan ke dalam komponen biaya-biaya operasional migas yang bisa dipulihkan pemerintah yakni cost recovery, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017.

Dimana pada pasal PP mengandung ketentuan komponen CSR ini ditanggung pemerintah jika aktivitas hulu migas telah memasuki masa eksploitasi. Sehingga komponen cost recovery tersebut tidak hanya menjadi domain eksekutif, melainkan juga masuk dalam wilayah penegakan hukum.

Bahwa sejak awal advokasi terhadap masyarakat adat terdampak BP Tangguh, saya tidak pernah setuju bahwa CSR itu dijadikan sebagai bagian dari cost recovery. Itu yang harus dipahami dulu, karena walaupun merupakan bagian dari investasi, pemerintah tetap harus membayar kembali kepada kontraktor, sehingga porsi penerimaan negara dari Dana Bagi Hasil (DBH) berkurang dan menyebabkan penerimaan APBN berkurang.

“Dengan kata lain, ya tetap memakai uang negara, uang rakyat,” ujar Filep di Gedung DPD RI (10/7).

“Selain itu, diperbolehkannya CSR sebagai salah satu jenis biaya kegiatan yang dapat dilakukan cost recovery itu jelas sangat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” tegas Filep

Terkait BP Tangguh, Filep menyebut, sejak awal dirinya pun sudah mempertanyakan hasil atau dampak CSR dari cost recovery itu saat melakukan advokasi di tengah masyarakat. Hal itu lantaran Filep mendapati fakta di lapangan justru berbanding terbalik dengan klaim BP Tangguh.

“Yang saya dapati di lapangan, tidak ada transparansi terkait anggaran CSR. Persoalan air bersih yang menyebabkan masyarakat menderita penyakit, persoalan stunting, persolan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang buruk, angka kemiskinan yang naik, rekrutmen tenaga kerja Orang Asli Papua yang minim dan hanya di sekitar unskilled labour, ketidakjelasan pengelolaan dana abadi, dan berbagai hal lain di lapangan, membuka mata semua orang dan Pemerintah bahwa selama bertahun-tahun BP beroperasi, CSR tidak berjalan sesuai harapan masyarakat. Pertanyaannya sekarang, kemana semua dana tersebut? Hal ini patut diduga ada tindak pidana korupsi, dan bahkan pencucian uang terkait dana ini,” kata mantan anggota Pansus Papua ini.

Oleh sebab itu, Anggota Komite I DPD RI ini kembali menegaskan, pentingnya penegak hukum turun tangan mengusut dugaan penyelewengan dana CSR yang menjadi bagian dari cost recovery tersebut.

“Saya meminta teman-teman penegak hukum, terutama Kejaksaan, dan juga teman-teman dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk turun ke lapangan dan memeriksa, mengaudit kemana larinya semua dana tersebut, pasalnya tidak ada kesejahteraan yang didapati masyarakat adat di Bintuni,” katanya.

Baca Juga :  Paska Reformasi Demokrasi Indonesia Alami Kebuntuan, Stagnansi dan Tidak Seimbang

“Bisa dimulai dari perusahaan berbendera Subitu yang sering diklaim BP Tangguh sebagai keberhasilan. Hingga tahun 2019, tidak pernah dilakukan audit terhadap Subitu. Temuan yang saya dapatkan, perusahaan tersebut mengalami kerugian. Dari Laporan Laba-Rugi per 30 Juni 2018 tercatat kerugian sebesar 2 milyar. Ini baru temuan di Subitu Karya Busana, belum termasuk Subitu lainnya,” imbuh Filep.

Filep lantas menuturkan, apabila terdapat 4 Subitu yang mengalami nasib serupa, maka dalam tahun 2018 saja bisa diduga ada kerugian Rp 8 milyar. Sehingga menurutnya, apabila dihitung dari masa eksploitasi misalnya dari 2010 sampai sekarang, dapat diduga terdapat kerugian mencapai Rp 26 milyar.

“Sebagai informasi, saya sudah menyampaikan hal ini kepada Jaksa Agung melalui Wakil Jaksa Agung pada Rapat Kerja bersama DPD RI. Kenapa saya minta penegak hukum harus turun? Pertama, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ditetapkan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Jika ada indikasi korupsi ataupun tindak pidana ekonomi maka jelas Kejaksaan bisa turun tangan. Dasarnya juga ada dalam Pasal 282 ayat (2) KUHAP. Ada uang negara disana karena dikeluarkan dalam wujud DBH. Kedua, BPK harus turun tangan. jika kita cek kembali UU Nomor 26 Tahun 2009 terkait APBN 2009,” papar Filep.

Baca Juga :  Langgar Etik Minta BK Berhentikan Fadel

Selain itu, doktor hukum alumnus Unhas Makassar ini menambahkan, pada Pasal 4 UU tersebut menyebutkan bahwa penerimaan SDA Migas memperhitungkan cost recovery sebesar US$11.050.342.000,00 (sebelas miliar lima puluh juta tiga ratus empat puluh dua ribu dolar Amerika Serikat), naik dari besaran tahun 2008 sebesar US$10.473.000.000,00 (sepuluh miliar empat ratus tujuh puluh tiga juta dolar Amerika Serikat), yang disebabkan oleh kenaikan lifting gas on stream Exxon dan Tangguh, serta swap Conoco dan Chevron.

“Sebagai kelanjutannya, pasal ini juga menugaskan BPK untuk melakukan audit atas kewajaran unsur biaya dalam cost recovery sejak tahun 1997, dan apabila terdapat temuan ketidakwajaran, maka BPK wajib melaporkan estimasi besaran kerugian negara yang timbul, termasuk kerugian daerah dalam kerangka bagi hasil, dan disampaikan dalam Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I Tahun Anggaran 2009 untuk dapat ditindaklanjuti. Sehinggga, menjadi jelas bagi kita bahwa dana cost recovery yang di dalamnya dimasukkan CSR harus diaudit,” kata Pace Jas Merah ini.

Lebih lanjut, Senator Papua Barat ini mengingatkan bahwa skema cost recovery ini pernah membuat penerimaan negara kecil sementara pengeluarannya membengkak, terjadi di tahun 2016, dimana waktu itu biaya cost recovery sebesar US$ 10,4 (Rp 138 triliun), sementara penerimaan negara hanya Rp 110,4 triliun saja. Ada dugaan penyelewengan terutama dari sisi cost recovery yang membengkak tersebut. Kemudian, setelah dilakukan audit BPK waktu itu, ternyata ada penyimpangan cost recovery di Chevron Pasific Indonesia, Pertamina EP, CNOOC SES Ltd dan Premier Oil Natuna Sea B.V. Menurut laporan BPK, terdapat dana Rp 4 triliun berupa biaya-biaya yang tidak semestinya yang dibebankan dalam cost recovery.

“Jadi, sekali lagi, advokasi saya terhadap masyarakat adat di Bintuni terkait eksistensi BP Tangguh yang tidak jelas CSR-nya untuk masyarakat, sudah selayaknya ditindaklanjuti oleh penegakan hukum,” tegas Filep menutup wawancara.

)***Tjoek

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *