Kualitas Analisis Hakim MK Semakin Berkurang Sebagai Penjaga Konstitusi Negara.

Uritanet, – Sebagai penjaga konstitusi negara, kualitas analisis para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai semakin menurun. Tentunya berkaitan dengan perkara judicial review Presidential Threshold sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Demikian terungkap dalam forum eksaminasi terhadap putusan MK Nomor 52/PPU-XX/2022 atas gugatan DPD RI dan Partai Bulan Bintang terhadap Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu, yang digelar Pusat Kajian Hukum DPD RI di Gedung Nusantara III Lantai VIII Komplek Parlemen Senayan, Jakarta (14/7).

Hadir pihak prinsipal, di antaranya anggota DPD RI Tamsil Linrung (mewakili pemohon dari DPD RI) dan Ketua Mahkamah Partai Bulan Bintang Dr Fahri Bachmid (mewakili pemohon dari PBB). Sedangkan eksaminator, hadir Guru Besar Emeritus Bidang Filsafat Universitas Gajah Mada, Prof Kaelan MS, Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Surakarta yang juga Ketua Komisi Yudisial Periode 2016-2018, Prof Aidul Fitriciada Azhari dan serta kuasa hukum DPD RI dan PBB, Prof Denny Indrayana. Acara dipandu Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin, dilangsungkan secara offline dan online, serta dihadiri juga Staf Khusus Ketua DPD RI Togar M Nero dan Brigjen Pol Amostian, Kepala Biro Pimpinan DPD RI Sanherif Hutagaol serta Kepala Biro Pusat Kajian Hukum DPD RI Andi Erham.

Prof Aidul Fitri, mencatat dalam pertimbangan putusan sebelumnya, di nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI Tahun 1945, MK berpendapat meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tidak selalu berarti in-konstitusional. Kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar Moralitas, Rasionalitas dan Ketidakadilan yang Intolerable.

Baca Juga :  Debat II : Debat Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 JCC, 22 Desember, 19.00 WIB

“Ini adalah sebuah bentuk kurangnya kapasitas analisis konstitusional dan analisis kedaulatan rakyat dan analisis kelas atau ekonomi dari Hakim MK. Karena langsung masuk pada sistem. Sehingga putusan menjadi kasualitas. Padahal hakim itu pembentuk hukum dan mengikuti perkembangan di masyarakat,” jelas Prof Aidul Fitri.

Sedangkan Prof Denny Indrayana, telah nyata dalam argumentasinya, bahwa Pasal 222 melanggar prinsip rasionalitas, moralitas dan ketidakadilan yang intolerable. “Bagaimana rasionalitas dari suara yang berbasis kepada pemilu 5 tahun sebelumnya? Ditambah dengan moralitas dari masuknya ‘duitokrasi’ dari Oligarki akibat adanya ambang batas tersebut,” urainya. Dan seharusnya antara nominee dengan election itu satu kesatuan proses. Tetapi dengan ambang batas, nominee sudah dibatasi terlebih dahulu oleh partai politik, baru kemudian diberikan kepada rakyat untuk dipilih melalui election. MK seharusnya melihat dengan pendekatan substansif, bukan normatif.

Sementara Prof Kaelan mengatakan sebenarnya yang diberikan kepada rakyat untuk dipilih dalam pilpres bukan pilihan rakyat. Tetapi pilihan Ketua Umum Partai Politik. Faktanya kan calon presiden yang diberikan kepada rakyat untuk dipilih kan salah satunya pilihan Megawati, ujar guru besar Filsafat UGM itu. Karenanya, kedaulatan rakyat itu sudah tidak ada. Karena negara ini sudah meninggalkan negara Proklamasi 17 Agustus 1945, dan mengganti dengan konstitusi baru pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.

Baca Juga :  Model Peternakan Terintegrasi dan Inti Plasma PT LSAJ, Mentan Amran Apresiasi Arie Triyono

Sementara mewakili pemohon II dari Partai Bulan Bintang, Fahri Bachmid menilai tidak ada yang baru dari semua pertimbangan hukum MK dalam putusan terhadap semua JR terkait presidential threshold di UU Pemilu. “Ya kita berharap pergantian hakim MK, atau perubahan pola rekruitmen hakim MK,” tandasnya. Selanjutnya ditambahkan Tamsil Linrung, selaku pemohon I DPD RI bahwa judicial review yang diajukan DPD RI secara kelembagaan merupakan hasil penyerapan aspirasi di seluruh daerah di Indonesia yang dilakukan anggota DPD RI.

“Jadi, itu adalah hasil dari penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh seluruh anggota DPD RI. Kami semua berkeliling daerah untuk meminta masukan mengenai presidential threshold ini, tetapi oleh MK dianggap tidak ada kerugian bagi DPD RI, sehingga ditolak di legal standing,” ujar Tamsil Linrung.

Sebagai informasi, hasil eksaminasi tersebut akan diolah menjadi rekomendasi oleh Pusat Kajian Hukum DPD RI, untuk kemudian disampaikan ke para pihak terkait. Sekaligus sebagai penambah literasi bagi kalangan praktisi hukum dan akademisi hukum. Nanti kami sampaikan kepada pimpinan DPD RI, apakah akan diteruskan kepada pemerintah dan DPR serta Lembaga Negara lainnya, kami serahkan kepada pimpinan DPD RI, ungkap Kabiro Pusjakum Andi Erham.

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *