Tuntut KPU Bertanggungjawab Agar Tidak Delegitimasi Hasil Pilpres 2024

Share Article :

Uritanet, Jakarta –

Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan KPU melanggar kode etik karena menerima pendaftaran Gibran sebagai Cawapres pada Pilpres 2024 berpotensi mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap Penyelenggara Pemilu dan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Demikian disampaikan Kuasa Hukum Penggugat, Sunandiantoro, S.H.,M.H. menyikapi hasil keputusan DKPP dalam Diskusi Publik “Menyoal Langkah Mitigasi KPU Cegah Delegitimasi Hasil Pilpres 2024” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (7/2).

“Pelanggaran etik ya pelanggaran hukum, tidak dapat dipisahkan. Jika kita baca Keputusan DKPP terlahir berdasarkan banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan KPU pada saat memproses Pendaftaran Gibran. Dan putusan tersebut dapat memicu konflik horizontal di masyarakat serta menghilangkan kepercayaan publik,” tegas Sunandiantoro, SH, MH.

Menurutnya untuk menghindari hilangnya kepercayaan rakyat Indonesia kepada KPU dan menghindari Komisioner KPU dari Tindak Pidana Pemberian Keterangan Palsu serta menghindari Delegitimasi Hasil Pilpres 2024, juga menghindari Konflik Horizontal di masyarakat. Maka atas dasar keputusan DKPP seharusnya KPU segera melakukan perbaikan surat keputusan penetapan calon presiden dan wakil presiden dengan cara merubah dan mendiskualifikasi Paslon Prabowo-Gibran karena mengakibatkan delegitimasi Pilpres 2024.

“Oleh karena itu perlu ada gerakan mendorong dan mendesak KPU segera melakukan perbaikan keputusan tata usaha negara yang dibuatnya sendiri jika memang KPU beritikad baik menjaga bangsa dan negara ini, khususnya keselamatan rakyat. Tidak menutup kemungkinan antar pendukung paslon terjadi konflik akibat delegitimasi hasil pilpres. Oleh karena itu KPU harus bertanggungjawab, jangan menunggu adanya upaya hukum di lembaga peradilan.” ujarnya.

Sedangkan Direktur Presisi, DR. Demas Brian W, SH, MH berpendapat bahwa keputusan KPU masih bisa berubah karena bagian dari keputusan tata usaha negara. Untuk merubahnya, kata Demas, ada dua cara yaitu adanya itikad baik dari lembaga negara itu sendiri dan melalui proses peradilan.

“Tentunya kita menginginkan KPU memiliki itikad baik setelah diberi peringatan oleh DKPP yaitu dengan memperbaiki keputusan yang telah dinyatakan cacat etik oleh DKPP,” jelas Demas.

Selanjutnya Romo Franz Magnis Suseno mengingatkan bahwa etika itu menjadi tolak ukur pembeda antara manusia dengan hewan, jadi jangan sampai negara ini dipimpin oleh orang yang tidak menjunjung tinggi etika.

Baca Juga :  Model Peternakan Terintegrasi dan Inti Plasma PT LSAJ, Mentan Amran Apresiasi Arie Triyono

“Etika itu menjadi tolok ukur pembeda antara manusia dengan hewan. Untuk itu jangan sampai negara ini dipimpin oleh orang yang membuang etika di tempat sampah.” Ucapnya.

Pemateri diskusi lainnya, DR. Maruarar Siahaan, SH, MH mengakui bahwa kondisi saat ini menunjukkan sistem hukum dan peradilan di Indonesia susah dipercaya. Menurutnya, pemerintahan sekarang terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur, namun lupa dengan sistem hukum dan peradilan yang ada.

“Kondisi ini tentunya menuntut kesadaran kita sebagai bangsa untuk memperbaikinya,” imbuhnya.

Sementara itu, pembicara diskusi lainnya DR. Charles Simabura, SH, MH menuturkan bahwa pemberian Peringatan Keras Terakhir yang berulang dari DKPP menunjukkan tidak tegasnya DKPP sebagai lembaga negara.

“Peringatan Keras Terakhir yang kedua kalinya menunjukkan DKPP tidak tegas. Setidaknya sanksi berikutnya adalah pemberhentian sementara atau tetap,” tuturnya.

Pendapat lain disampaikan Prof. Ikrar Nusabakti, Ph.D bahwa jika Pemilu 2024 hasilnya tidak legitimate, yang ada dalam pikiran adalah bagaimana sebuah pemerintahan bisa terjadi atau bisa berjalan dengan baik.

Baca Juga :  Rakor Tingkat Menteri Kaji Persiapan PON Aceh dan Sumatera Utara

“Legitimasi pemerintahan itu bukan hanya menentukan siapa pemimpinnya, tetapi kemenangan dalam pemilu itu apakah diterima oleh masyarakat atau tidak,” ujarnya.

Dalam politik, tambah Ikrar, seseorang bisa saja memiliki power tetapi dia tidak memiliki otoritas politik. Artinya, jika kekuasaan yang diperoleh tidak legitimate, maka rakyat akan memandang kekuasaan yang diperoleh akan dianggap tidak ada. Sebaiknya, jika kekuasaan yang diperolehnya dengan cara yang baik, maka akan memiliki otoritas.

Sedangkan Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar Madani menekankan kepada publik bahwa harus ada standart moral atau dalam islam disebut akhlak. Jadi secara moral harusnya Gibran mengundurkan diri dari statusnya sebagai Cawapres.

“Seharusnya Gibran mengundurkan diri sebagai cawapres. Karena jika tidak maka standart moral dan akhlaknya ya sebatas itu, dan ini berbahaya.” Cetusnya

Menyoroti keputusan DKPP terhadap KPU, mewakili Penyelenggara, Edesman menilai persoalan etika dan dasar hukum merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.

“Hukum tidak bisa dipisahkan dengan etika. Siapapun yang melanggar/cacat etika, pasti melanggar/cacat hukum. Dampak dari keputusan DKPP ini akan menyebabkan tindak pidana bagi individual ketua dan komisioner KPU itu sendiri,” tegas Edesman.

Lebih jauh Edesman melihat bahwa saat ini pejabat yang beretika dan bermoral sangat langka. Belakangan, dua lembaga yang dipercaya menjaga Marwah Indonesia terbukti melakukan pelanggaran etik. Ia berharap dalam Pemilu ini, Bawaslu jangan sampai terperosok dijalan yang sama yang penuh drama etika.

“Jika Mahkamah Konstitusi dan KPU yang merupakan penjaga Marwah Indonesia pernah melakukan pelanggaran etik, lalu lembaga mana lagi yang bisa dipercaya untuk menjaga Marwah Indonesia, gara gara meloloskan Gibran.” pungkas Edesman.

)***D Junod

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *