Uritanet, – Wakil Ketua Komite III DPD RI, Dedi Iskandar Batubara menagih komitmen Pemerintah untuk menegakan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada kasus pencabulan santriwati di Jombang. Senator asal Sumatera Utara itu menyatakan keprihatinannya atas peristiwa tersebut.
Menurutnya, kejadian itu untuk kesekian kalinya mencoreng, institusi pendidikan keagamaan pesantren, karena pelakunya (MSA) memiliki hubungan dengan pesantren, sebagai pengurus atau sebagai anak dari pengurus dan pendiri pesantren. Komite III DPD RI juga kecewa atas kinerja kepolisian yang sangat lamban dan terkesan tidak serius dalam penanganan kasus ini.
Padahal pelaku sudah ditetapkan menjadi tersangka sejak 2019, namun belum dilakukan penangkapan, hingga saat ini justru menjadi DPO. Ini jelas melanggar KUHPidana, yang mewajibkan tersangka ditahan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Polisi seharusnya sedari awal patut menduga bahwa jika tidak ditahan pelaku dapat melarikan diri, dan hal itu saat ini terbukti, tegas Dedi.
9 Mei 2022 telah diundangkan UU TPKS. UU ini lahir dan diundangkan sebagai bentuk komitmen seluruh elemen Pemerintah terhadap pencegahan, penanganan, pelindungan, dan pemulihan hak korban. Norma dalam UU TPKS berakar dari pemikiran ahli hukum yang sangat progresif dan modern yang mengacu pada berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan praktik-praktik penegakan hak asasi manusia di level internasional.
Saat ini, pencabulan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Mengapa? Karena dampaknya yang luar biasa kepada korban, yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik.
Menurut Wakil Ketua Komite III DPD RI ini, sedikitnya ada 4 hal yang dapat disoroti dari kasus pencabulan ini. Pertama, Bab IV UU TPKS jelas mengatur bagaimana penegak hukum harus bersikap, bertindak dan berbuat dalam proses penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan yakni harus berperspektif hak asasi manusia dan Korban, bukan pada pelaku.
Jadi, jika sampai saat ini Polres Jombang gagal melakukan penangkapan terhadap pelaku karena dihalang-halangi oleh pihak keluarga dan masyarakat sekitar pesantren, termasuk pertimbangan kamtibmas, hal itu menunjukan ketidakpahaman Polisi dalam menangani kasus ini.
Oleh karena itu, jika jajaran Polres Jombang belum memahami UU TPKS karena mungkin kepolisian belum sempat melakukan sosialisasi kepada jajarannya hingga level bawah, maka penanganan kasus ini harus dilakukan oleh institusi kepolisian yang lebih tinggi tingkatnya, yakni Polda Jatim atau bahkan Polri, yang diharapkan lebih memahami UU TPKS.
Kedua, Bab III Pasal 19 UU TPKS mengatur tentang Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dimana setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/ atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Ini artinya pihak keluarga, masyarakat dan siapapun yang menghalangi penangkapan pelaku dapat dikenakan pidana Pasal 19 UU TPKS.
Ketiga, Pemerintah dan Pemda wajib memberi pendampingan pada korban pada setiap tahapan proses penanganan hukum kasusnya. Pendamping itu dilakukan antara lain oleh LPSK, tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; dll. Pemerintah dan Pemda juga wajib memberikan pemulihan pada korban berupa Rehabilitasi medis; Rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan sosial; Restitusi dan/ atau kompensasi; hingga reintegrasi sosial.
Keempat, Komite III DPD RI mendesak Pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan dari UU TPKS selambatnya 2 tahun sejak diundangkannya UU TPKS.