Jakarta (Uritanet) :
Modernisasi bukan momok, melainkan peluang. Di tengah derasnya arus globalisasi dan kecanggihan teknologi digital, budaya lokal bukan untuk dikorbankan—melainkan dirawat, ditumbuhkan, dan dimajukan.
Sumatera Utara, dengan keindahan tradisi dan kekayaan adatnya, berada pada titik penting: bagaimana mempertahankan keaslian budaya sambil tetap relevan di era modern? Jawabannya: melalui akulturasi budaya yang bijak dan difusi teknologi yang adaptif.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), Sultan B Najamudin, saat tampil sebagai pembicara kunci dalam Diskusi Panel Budaya bertema “Merawat Budaya Sumatera Utara di Tengah Arus Modernisasi” yang digelar di Gedung Nusantara V MPR/DPR/DPD RI, bersama ratusan alumni Universitas Sumatera Utara (USU).
“Keaslian dan keberagaman budaya sebagai identitas lokal dan nasional harus terus dirawat di tengah kegemerlapan teknologi digital,” ujar Sultan.
Tentunya melalui inovasi akulturasi budaya dan difusi teknologi, baik pada sektor pendidikan, sistem pertanian, pelestarian seni budaya, hingga pemberdayaan komunitas adat.
Pernyataan Sultan bukan sekadar seruan normatif, tapi seruan yang strategis dan relevan. Ketika dunia berubah begitu cepat, budaya lokal harus bertransformasi menjadi aset digital, edukatif, dan produktif. Inilah makna dari modernisasi yang mencerdaskan, bukan menindas.
Budaya “Marsialapari”: Kearifan Lokal Visi Nasional
Lebih lanjut, Sultan mengangkat nilai kearifan lokal Sumatera Utara dalam sistem pertanian. Salah satu contohnya adalah filosofi “marsialapari”—tradisi gotong royong antarpetani yang telah hidup ratusan tahun.
Filosofi ini, menurutnya, sangat relevan untuk mendukung visi Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan swasembada pangan nasional.
“Marsialapari adalah bentuk konkret bagaimana masyarakat membangun ketahanan pangan berbasis kolaborasi. Inilah fondasi budaya yang seharusnya menjadi inspirasi dalam penyusunan kebijakan nasional,” tegas Sultan, mantan Wakil Gubernur Bengkulu.
Dalam era disruptif seperti sekarang, hanya budaya yang bisa menyatukan di tengah perbedaan. Sultan menekankan pentingnya acara semacam ini bukan hanya sebagai ajang seremonial, melainkan sebagai wadah refleksi lintas generasi dan forum dialog strategis yang mempertemukan akademisi, budayawan, dan pemangku kepentingan.
“Kami berharap acara ini tidak sekadar menjadi selebrasi budaya, tetapi juga ruang dialog, refleksi, dan kolaborasi lintas generasi. Tentunya juga menjadi referensi akademis bagi lembaga DPD RI dalam menyusun kebijakan,” tutup Sultan dengan penuh harap.
Budaya Adalah Masa Depan, Bukan Sekadar Warisan
Di tengah arus modernisasi, budaya tak boleh hanya menjadi peninggalan—melainkan menjadi pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Sumatera Utara punya kekuatan kultural luar biasa yang siap diakselerasi dengan teknologi dan disinergikan dalam kebijakan. Masa depan Indonesia adalah masa depan yang berakar dari budaya, namun menjulang dengan inovasi.
Modernisasi tanpa kehilangan jati diri—itulah langkah strategis menuju Indonesia yang berdaulat secara budaya dan mandiri dalam pangan.
)**Tjoek