Perlindungan Hak Cipta dalam Hubungan Industrial: Studi Kasus Mathews Siahaan dan Tobali Production

Jakarta (Uritanet) :

Dalam ranah hukum kekayaan intelektual di Indonesia, kasus yang menimpa Mathews Siahaan membuka kembali perdebatan penting mengenai perlindungan hak cipta, terutama ketika pencipta adalah seorang pekerja dalam hubungan industrial. Matthew, seorang music composer dan music producer yang pernah bekerja di Tobali Production, menghadapi pelanggaran hak ekonomi atas ribuan karya musik latar yang ia ciptakan untuk berbagai sinetron dan film.

Secara hukum, posisi Matthew Siahaan berada dalam dua ranah perlindungan hukum yang berbeda namun saling terkait. Sebagai pekerja, ia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di sisi lain, sebagai pencipta, ia memiliki hak eksklusif yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Perjanjian kerjanya pun secara eksplisit menyatakan bahwa hak atas ciptaan tetap melekat pada pencipta, bukan perusahaan.

Pengacara Matthew, Okky Rachmadi S, SH, CIB, ERMAP, CLA dari 8 Artha Setu, EquityTower SCBD, menegaskan bahwa kliennya hanya ingin menuntut hak ekonomi yang belum pernah diberikan, meski karya-karyanya sudah digunakan secara luas, baik di televisi maupun platform digital. Dalam UU Hak Cipta, terdapat dua jenis hak yang harus dihormati: hak moral dan hak ekonomi. Meskipun nama Mathews telah dicantumkan sebagai composer dalam lebih dari 35 film, hak ekonominya justru diabaikan.

Baca Juga :  Dr. H. Tri Adhianto, S.E., M.M. Calon Walikota Kota Bekasi, Siap Jadikan Kota Bekasi Kota Internasional

Eksploitasi Tanpa Izin: Pelanggaran Hukum yang Sistemik

Yang menjadi perhatian utama dalam kasus ini adalah penggunaan karya cipta tanpa izin dan tanpa negosiasi royalti. Film dan sinetron yang menggunakan musik karya Matthew telah ditayangkan di ANTV dan berbagai platform digital. Padahal, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU No. 28/2014, pencipta memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya, termasuk menerima manfaat ekonomi dari penggunaannya.

Pelanggaran tidak berhenti pada tidak dibayarkannya royalti, tetapi juga penggunaan tanpa persetujuan atau permintaan izin dari pencipta. Dalam konteks ini, ANTV sebagai media penayang dianggap turut bertanggung jawab, terutama karena tidak adanya transparansi terkait hubungan kontraktual dengan Tobali Production.

Monopoli Hak Cipta dan Hak Penetapan Nilai Royalti

Sebagaimana dijelaskan Okky, hak cipta bersifat monopolistik, artinya hanya pencipta yang berhak menentukan nilai dan syarat penggunaan ciptaannya. Ketika tidak pernah diminta izinnya, wajar jika Matthew menetapkan nilai royalti sebesar Rp500.000 per penayangan. Apalagi selama 5,5 tahun bekerja di Tobali, Mathews telah menciptakan ribuan komposisi musik.

Permasalahan menjadi semakin kompleks karena tidak pernah terjadi kesepakatan mengenai penggunaan karya setelah hubungan kerja berakhir. Padahal perjanjian kerja menyatakan bahwa setiap penggunaan pasca kerja harus diatur ulang melalui adendum. Tanpa adendum tersebut, penggunaan otomatis menjadi pelanggaran hukum.

Baca Juga :  JNE Gelar Creative Workshop di IKJ: Tingkatkan Keterampilan Konten Digital Generasi Muda

Dalam kasus ini, tanggung jawab hukum tidak hanya dapat dibebankan kepada Tobali Production, melainkan juga kepada ANTV sebagai pihak yang menayangkan karya tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Jika memang terjadi jual putus, maka harus jelas bahwa karya tersebut dijual langsung oleh penciptanya. Jika tidak, hak cipta tetap berada di tangan Mathews, dan penggunaan tanpa izin menjadi pelanggaran serius.

Kembali pada Prinsip Dasar Hukum Hak Cipta

Kasus ini menunjukkan bahwa dalam konflik antara kepentingan industri dan hak pencipta, hukum harus memihak pada perlindungan terhadap pencipta. Undang-undang sudah secara jelas mengatur bahwa pencipta berhak atas hak moral dan hak ekonomi. Tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan dari karya cipta tanpa persetujuan dan kompensasi yang layak.

Prinsip Verba legis non est recedendum—ketika hukum sudah berbicara, tidak boleh menyimpang dari makna hukumnya—menjadi pijakan penting. Apapun platformnya, siapa pun penggunanya, hak pencipta tetap harus dihormati. Semoga kasus Mathews Siahaan ini menjadi tonggak untuk memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia dan memberi keadilan bagi setiap pencipta.

)*Tjoek

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *