Uritanet, Jakarta –
Pada 27 Juli lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengumumkan bahwa era pemanasan global telah berakhir dan era pendidihan global telah tiba. Dan Antonio Guterres menegaskan bahwa kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius akan sulit ditahan apabila tidak ada aksi radikal semua negara dan lembaga global.
Catatan World Meteorological Organization (WMO) dan program Copernicus menunjukkan bahwa rata-rata suhu permukaan bumi sepanjang bulan Juli kemarin melonjak tajam. Rata-rata suhu global hampir mencapai 17 derajat celsius.
Angka ini terpaut cukup jauh dengan catatan suhu terpanas sebelumnya, yakni pada Juli 2019 lalu yang berkisar 16,63 derajat celsius.
Data pantauan iklim global menunjukkan bahwa Juli 2023 telah mencatatkan sejumlah fenomena alam yang ekstrem. Melaporkan adanya periode tiga minggu terpanas sepanjang sejarah, rekor tiga hari terpanas (5-7 Juli), dan temperatur suhu lautan tertinggi selama 12 bulan terakhir.
WMO memperkirakan intensitas kejadian ekstrem seperti ini akan semakin tinggi. Hampir dapat dipastikan bahwa rekor terpanas suhu global akan tercapai lagi sepanjang 1-5 tahun mendatang.
Oleh karena itu, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah bersiap menghadapi ancaman peningkatan suhu global ini.
Hal itu merespon data yang dilansir World Meteorological Organization (WMO) yang memperkirakan intensitas kejadian ekstrem seperti kekeringan dan kelangkaan pangan serta kelaparan global.
Bahkan, WMO memprediksi intensitas ancaman tersebut akan semakin tinggi dalam tempo waktu satu hingga lima tahun ke mendatang.
“Artinya, kita harus bersiap dari sekarang memperbaiki lingkungan hidup kita. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah reboisasi dan menyiapkan bioteknologi pertanian,” kata LaNyalla di sela kegiatan resesnya di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (4/8).
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, ancaman suhu global memicu fenomena ekstrem di beberapa kawasan dunia yang bukan hanya menelan korban jiwa, tetapi juga memberikan pengaruh ekstrem dan
menyebabkan gagal panen.
“Ancaman kelangkaan pangan pun semakin nyata. Fenomena ini berpotensi meluas ke seantero dunia, termasuk Indonesia,” jelas LaNyalla.
LaNyalla menilai hal ini tak bisa dianggap sepele, karena potensi kelangkaan pangan dapat berlangsung cukup lama dan berdampak sangat serius. Menurut LaNyalla, pangan merupakan kebutuhan mendasar yang bisa memicu terjadinya gejolak di dalam negeri.
“Ancaman krisis pangan berdampak sistemik kepada seluruh sektor, baik keamanan, situasi politik dan lain sebagainya. Tentu harus diantisipasi dengan baik dengan skema yang benar,” tutup LaNyalla.
)**Nawasanga