URITANET – Peristiwa Perjuangan Demokrasi 10 Januari Korea Selatan tak lepas oleh perjuangan nan heroik Lee Han-yeol dan Park Jong-cheol hingga lahirnya Peristiwa Demokrasi 10 Juni. Dimana kisah ini dimulai pada 14 Januari 1987, dimana Park Jong-cheol, mahasiswa Seoul National University ditangkap aparat kepolisian dengan alasan bahwa ia adalah junior dari seorang mahasiswa buronan. Akhirnya berujung kematian Park Jong cheol.
Park dibawa paksa ke Kantor Interogasi Anti-Komunis Namyeongdong (Yongsan District, Seoul), Park ditemukan meninggal akibat penyiksaan oleh polisi. Polisi mengumumkan kematian Park Jong-cheol diakibatkan syok ringan. Tapi kesaksian dari dokter yang melakukan pemeriksaan post-mortem mengakui kebenaran penyiksaan terhadap Park (hari kelima, red).
Dan seusai misa requiem mendiang Park Jong-cheol di Katedral Myeongdong, Seoul, sebanyak 2.000 warga yang terdiri atas pastor, biarawati, dan mahasiswa berkumpul di depan Katedral Myeongdong untuk mengadakan aksi sunyi sebagai bentuk kecaman terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik penyiksaan yang dilakukan oleh pemerintahan Chun Doo-hwan. Sementara di buletin Partai Shinan Minju-dang (Shinmindang) dalam breaking news terungkap penyiksaan terhadap Park Jong-cheol.
[irp posts=”1578″ name=” Hati Suci” Kisah Perjuangan Auw Tjoei Lan Patut Diteladani”]
28 Februari 1987, Polisi pun mencoba menghalangi umat yang ingin berpartisipasi dalam ibadah peringatan Park Jong-cheol di Gereja Kristen Hyanglin, Seoul. Di tempat terpisah, Polisi mencegat seorang biksu yang hendak menghadiri upacara peringatan Park Jong-cheol di Taman Pagoda, Seoul. Dan 3 Maret, kemarahan publik terhadap rezim Chun Doo-hwan mulai semakin meluap dan kemudian berujung pada penuntutan pembubaran rezim.
13 April, 1987, Pernyataan resmi Ketahanan Konstitusi Presiden Chun Doo-hwan. Namun didorong keinginan kuat dari rakyat untuk demokratisasi, partai oposisi baru menuntut Amandemen UUD yang memberlakukan sistem pemilihan presiden tidak langsung.
Mereka menolak sistem pilpres tidak langsung yang ditetapkan dalam Konstitusi Republik ke-5 di bawah rezim Chun Doo-hwan yang telah menekan Gerakan Demokratisasi 18 Mei 1980 di Gwangju sebelum membentuk pemerintahannya.
Oleh karenanya Presiden Chun Doo-hwan mendeklarasikan ‘Pernyataan Ketahanan Konstitusi 13 April’ (1987) yang menyatakan tetap menerapkan sistem pilpres tidak langsung sesuai UUD yang berlaku dengan alasan tidak ada hasil dari perundingan lintas partai yang membahas tentang Amandemen UUD.
Pernyataan Ketahanan Konstitusi 13 April Presiden Chun Doo-hwan, justeru mengobarkan semangat penolakan keras dari para dosen dan berbagai kelompok sosial yang juga mendesak pemulihan situasi genting. Dan Catholic Priests’ Association for Justice atau Asosiasi Imam Katolik untuk Keadilan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa “kebenaran kasus penyiksaan dan pembunuhan tak terencana terhadap Park Jong-cheol telah dimanipulasi.”
Dengan terkuaknya kasus Park Jong-cheol yang telah dimanipulasi, partai oposisi baru (Shinmindang) dan tokoh sipil bersatu membentuk ‘Mabes Gerakan Nasional untuk Konstitusi Demokratis’ pada 27 Mei 1987.
Para anggota gerakan tersebut menyusun rencana untuk mengadakan rapat akbar untuk mengecam penyiksaan dan pembunuhan tak terencana terhadap Park Jong cheol serta menuntut penghapusan Pernyataan Ketahanan Konstitusi pada 10 Juni 1987.
Polisi pun melontarkan gas air mata kepada sekelompok mahasiswa Seoul National University yang turun ke jalan untuk memprotes manipulasi atas kasus penyiksaan dan pembunuhan Park Jong-cheol dan Pernyataan Ketahanan Konstitusi 13 April.
[irp]
Di Gerbang Utama Yonsei University, Lee Han-yeol bersama 2.000 mahasiswa menggelar rapat untuk merencanakan keikutsertaan mereka dalam Aksi Akbar Nasional 10 Juni yang diselenggarakan Mabes Gerakan Nasional untuk Konstitusi Demokratis.
Lee Han-yeol yang sedang berpartisipasi dalam unjuk rasa di depan Yonsei University pada 9 Juni pingsan setelah ditembakkan gas air mata oleh polisi. Setelah mengalami masa kritis selama 27 hari, Lee Han-yeol tak tertolong dan menghembuskan napas terakhir pada 5 Juli 1987. Kematian Lee membuat masyarakat naik pitam, kemudian menjadi katalisator dalam tercetusnya Perjuangan Demokrasi Juni.
Polisi berupaya memblokir para partisipan Aksi Akbar Nasional 10 Juni untuk masuk ke dalam area. Aksi ini terjadi di selurun negeri termasuk Seoul. Bahkan kalangan warga yang tidak ikut turun ke jalan pun turut mendukung unjuk rasa tersebut. Hal ini membuat perlawanan dari massa menjadi semakin meluas di luar ekspektasi dari Mabes Gerakan Nasional dan Partai oposisi. Sebanyak 3.831 orang telah ditangkap pada 10 Juni itu.
Katedral Myeongdong, Imam dan umat Catholic Priests’ Association for Justicé & Asosiasi Imam Katolik untuk Keadilan) beserta warga bergabung dalam unjuk rasa damai. Menjadikan Katedral Myeongdong Kiblat Perjuangan Demokrasi 10 Juni.
Para pengunjuk rasa yang dikejar oleh polisi anti huru-hara selama Perjuangan Demokrasi 10 Juni melarikan diri ke Katedral Myeongdong dan dilindungi oleh para imam selama lima hari. Hal ini menjadikan Katedral Myeongdong sebagai simbol perlawanan nasional.
[irp]
Para pekerja kantoran di sekitar Myeong-dong saat itu pun ikut berkumpul di sekitar Katedral Myeongdong setiap jam istirahat makan siang untuk mendukung aksi unjuk rasa. Hal ini kemudian membuat unjuk rasa yang kebanyakan anggotanya mahaiswa itu secara bertahap mulai menyebar ke masyarakat umum.
Dari sinilah, aksi Perjuangan Demokrasi Juni (mahasiswa) menjelma menjadi aksi perjuangan warga sipil. Banyak karyawan kantoran Myeong-dong yang melakukan unjuk rasa mengenakan kemeja dan dasi. Aksi tersebut dilanjutkan dengan ‘Hari Penghalauan Gas Air Mata’ pada 18 Juni, dan ‘Pawai Damai Nasional’ pada 26 Juni yang kemudian berkembang menjadi perlawanan tingkat nasional di Korea, memanaskan suasana sepanjang bulan Juni.
Para anggota Federasi Wanita Korea pun menyematkan bunga anyelir di pundak aparat keamanan yang menunggu di depan Hotel Royal, Myeong-dong, Seoul, dengan maksud agar mereka tidak menembakan gas air mata. Disisi lain protes pun terus berlanjut di seluruh negeri yang dihadiri sebanyak 1.500.000 partisipan dari 16 kota dan menyebar hingga ke daerah. Bertambahnya jumlah pengunjuk rasa dan meluasnya aksi demonstrasi memberikan makna tersendiri.
26 Juni 1987, dilakukannya Perjuangan Nasional Besar-Besaran. “Pawai Damai Nasional” diadakan di seluruh negeri pada 26 Juni sebagai upaya untuk meningkatkan semangat perlawanan publik. Pada hari itu, pengunjuk rasa yang terdiri atas warga dan mahasiswa berkumpul di Bundaran Munhyeon, Busan untuk berpartisipasi dalam Pawai Damai Nasional.
Bahkan seorang warga melepaskan pakaiannya dan secara heroik berlari ke arah polisi dengan meneriakkan “Jangan tembakkan gas air mata!” Warga tersebut menyerukan kepada polisi agar berhenti menembakkan gas air mata.
Jalanan dipadati sebanyak 1,5 juta orang dari 50 daerah di Korea. Terlihat pada barisan depan, pengunjuk rasa sedang menghadapi aparat kepolisian yang tanpa pandang bulu menembakkan gas air mata. Hampir 3.500 pengunjuk rasa memenuhi jalanan telah ditangkap pada hari itu.
[irp]
Pawai Damai Nasional mengawali aksi perlawanan besar-besaran yang menjadi puncak dari rangkaian aksi perlawanan nasional selama itu. Polisi yang selama itu berupaya memukul mundur pengunjuk rasa dibuat tidak berdaya seiring dengan meningkatnya jumlah demonstran. Unjuk rasa yang berlangsung di seluruh negeri dari 26 Juni hingga 28 Juni 1987 menjadi unjuk rasa terbesar dalam Perjuangan Demokrasi 10 Juni.
Menghadapi perlawanan dari rakyat, rezim Chun Doo-hwan akhirnya mengumumkan Deklarasi 29 Juni, diumumkan oleh Roh Tae-woo, seorang perwakilan dari partai berkuasa (Minjeongdang) yang sekaligus calon presiden pada saat itu.
Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa “(kami) akan melakukan Amandemen Konstitusi untuk menerapkan pilpres langsung dan melakukan pengalihan pemerintahan secara damai pada Februari 1988 melalui pilpres menurut UUD baru.’ Konstitusi(UUD) diubah pada Oktober 1987 sesuai dengan pernyataan penyerahan oleh pemerintahan Chun Doo-hwan dan partai berkuasa. Pemilihan presiden secara langsung, akhirnya kembali diadakan untuk pertama kalinya dalam 16 tahun sejak 1971.
27 Oktober 1987, referendum amandemen konstitusi tentang sistem pemilihan presiden secara langsung diadakan serempak di seluruh negeri. Sebanyak 78,2% pemilih berpartisipasi dalam pemungutan suara. Menurut hasil pemungutan suara tersebut, responden yang setuju dengan rancangan Amandemen Konstitusi adalah 93,1%.
26 Februari, 1988 : Bersama dengan teman-teman peserta parade peringatan Park Jong-cheol sedang melewati podium pada upacara wisuda Seoul National University ke-42. Para mahasiswa berjalan kaki sampai ke pintu gerbang kampus, menuntut agar Park Jong-cheol dianugerahi ijazah kehormatan.
[irp]
Kini diperingatan 30 Tahun Perjuangan Demokrasi 10 Juni 2017 menghadirkan Presiden Moon Jae-in diadakan di Alun-Alun Seoul. Sejak 2007, Perjuangan Demokrasi 10 Juni telah ditetapkan sebagai Hari Peringatan Nasional. Dan 10 Juni 2020 Presiden Moon Jae-in mengunjungi bekas Kantor Interogasi Anti-Komunis Namyeongdong.
Presiden Moon Jae-in beserta Ibu Negara Kim Jung-sook mengheningkan cipta di depan foto Almarhum Park Jong-cheol di ruang investigasi no. 509 (sekarang menjadi lokasi Democracy and Human Rights Memorial Hall) seusai menghadiri Peringatan 33 Tahun Perjuangan Demokrasi 10 Juni yang diadakan di bekas Kantor Interogasi Anti-Komunis Namyeongdong di Yongsan District, Seoul.
Penulis : Jegegtantri
Sumber : Yongwol Media Journalis Museum, The Kyunghyang Shinmun (surat kabar); National Museum of Korean Contemporary History; Kyunghyang Shinmun (surat kabar Korea); National Archives of Korea.