Jakarta (Uritanet) –
Sidang lanjutan perkara Nomor: 465/Pid.B/2024/PN. Jkt.Pst, mendengarkan kejujuran dan keterangan langsung dari terdakwa Prof. Marthen Napang.
Terdakwa terkait kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan putusan Mahkamah Agung. PN Jakpus menggelar persidangan kembali dalam ruang Oemar Senoadji 2, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (18/12) siang.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) melontarkan berbagai pertanyaan untuk menguji kejujuran terdakwa Marthen.
“Saudara mendapatkan gelar profesor sejak kapan?,” tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suwarti kepada terdakwa Prof Marthen Napang.
“Saya mengusulkan gelar Profesor sejak tahun 2015, mendapatkan persetujuan tahun 2017. Kemudian SK Profesor keluar tahun 2019, dan dikukuhkan 2020,” ujar terdakwa Prof.Marthen.
Namun, sejumlah bukti data dari JPU, mengungkapkan, bahwa terdakwa Prof.Marthen telah memakai gelar Profesor sejak tahun 2016-2017.
Ia terpublikasi sebagai narasumber atau pembicara seminar di berbagai kesempatan.
Kemudian JPU menggali pertanyaan lagi, sejak kapan terdakwa kenal pelapor John Palinggi?
“Saya mengenal John Palinggi ketika melakukan studi lanjut sekitar tahun 2004. Studi lanjut program Pasca Sarjana Unpad kelas di Jakarta,” jelas Prof.Marthen.
Waktu Ia kenal di Graha Mandiri atau dulu namanya BBD Plaza, Menteng Jakarta Pusat. Selain juga ada kantor Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan. Dalam organisasi itu kami sering rapat-rapat, dan sering ketemu John Palinggi, lanjutnya.
Dengan lugas JPU kemudian melontarkan pertanyaan,bsetelah tahun 2004, apakah pada tahun 2017 saudara pernah bertemu dengan John Palinggi persisnya tanggal 12 Juni 2017?
“Saya tidak pernah bertemu John pada tanggal 12 Juni 2017. Karena saat itu saya berada di Makassar, kemudian pada malam hari saya baru terbang ke Jakarta menggunakan maskapai Batik Air,” bantah Prof.Marthen.
Tapi ketika JPU meminta menunjukkan bukti tiket penerbangan, Prof.Marthen beralasan bahwa pihak maskapai tidak mempunyai data manifes karena sudah terlalu lama.
JPU kemudian menunjukkan bukti manifes resmi Batik Air berdasarkan saksi dari pihak Lion Group yang hadir pada persidangan beberapa waktu lalu.
Dalam data tersebut, Marthen melakukan perjalanan dari Ujung Pandang ke Jakarta pada tanggal 6 Juni 2017 dan kembali ke Ujung Pandang pada 13 Juni 2017.
“Saya minta saudara jujur. Bagaimana saya bisa mempertimbangkan dalil Saudara yang menyatakan pada tanggal 12 Juni berada di Makassar?,” ungkap JPU.
Menjawab hal itu, terdakwa berkelit bahwa pada saat itu ingin bertemu dengan pihak Kemendikti terkait persetujuan gelar Profesornya.
“Karena pihak Kemendikti berhalangan dan tidak jadi bertemu. Lalu saya check ke bandara ada penerbangan pagi. saya terbang ke Makasar. Dan saya harus bertemu mahasiswa saya di Unhas,” cetus Prof.Marthen.
JPU kembali menguji kejujuran terdakwa dengan pertanyaan terkait 3 rekening atas nama Elsa Novita, Sahyudin, dan Sueb. “Apakah saudara yang memberikan 3 rekening tersebut kepada John Palinggi?
Terdakwa menjawab berbelit-belit. Bahkan Prof.Marthen mengaku ketiga rekening itu diberikan mahasiswanya. Padahal, sesuai BAP, Marthen menyebut bahwa rekening itu diberikan oleh Febri Wijayanto.
“Saya mendapatkan nomor rekening tersebut dari Hasanuddin, mantan mahasiswa saya. Memang ada dua nama Febri: yang pertama, Febri, seorang pengusaha asal Surabaya. Saya sempat berurusan terkait jual beli tanah di Surabaya. Dan Febri Wijayanto seorang panitera di MA. Tapi saya tidak pernah berhubungan langsung dengan Febri Panitera, tetapi mengetahui keberadaannya melalui dokumen perkara yang saya tangani,” ujar Prof.Marthen.
Di akhir persidangan, giliran Hakim Dwikora bertanya kepada terdakwa. “Menurut saudara, tahu enggak mengapa saudara dilaporkan John Palinggi?
Di persidangan itu terdakwa justru menuding John Palinggi melaporkan dirinya karena marah dan sakit hati tidak diberikan pinjaman uang sebesar 500 juta.
)**punk/*