Mencari Akar, Menafsir Ingatan Bangsa : Ke Melayu Kita Belajar, Temui Bahasa Indonesia yang Terlahir

Uritanet, Jakarta –

Sebuah perhelatan budaya berupa pameran seni lukis dan juga penampilan orasi budaya pun pembacaan puisi dari sastrawan Melayu Kontemporer akan menerbangkan benak tentang sejarah dan warisan kultural bagaimana bangsa Melayu usai Traktat London 1824 antara Inggris – Belanda.

Relasi puak-kerabat yang dipisahkan oleh kolonialisme dari suku bangsa serumpun antara Kepulauan Riau, Singapura, Johor, Trengganu dan Semenanjung Malaka kenyataanya tetap menggema hingga kini.

Apalagi, sastrawan dan ulama besar Raja Ali Haji dengan karya-karya yang menyejarah memberi bangsa Indonesia berkah luar biasa, terutama karya-karya: Bustanulkatibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1859) yang kita ketahui dengan dua kitab itu, yang ikut menjadi cikalbakal ‘fundamen’ lahirnya bahasa Indonesia ‘yang diadopsi’ dari bahasa Melayu.

Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada tahun 1938 tentang : “Ijang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riau’ akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah atau dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga mendjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam Kebangsaan Indonesia”.

Sebagai sebuah ekspresi politik, Bahasa Indonesia terlahir pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Hal itu, menyebabkan orang Indonesia menyaksikan dirinya dalam cermin sebagai “satu tumpah darah– tanah air, bangsa dan bahasa” yang mengikat-satu dan lainnya dan menjadi imajinasi komunitas terbayang— imagined communities ala sarjana Barat, Ben Anderson tentang paradigma nasionalisme.

Baca Juga :  Pilih Sistem Ekonomi Memperkaya Negara dan Rakyat atau yang Memperkaya Oligarki Pengusaha yang juga Penguasa

Serta yuridis, pada 18 Agustus 1945, bahasa kita itu secara resmi diakui dengan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 36 menyebutkan: Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia.

Disanalah, konteks sejarah Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia bersanding, dalam perspektif linguistis, sosiologis, dan yuridis saling terkait secara intim yang tentunya mengalami pembedaan, persamaan maupun perubahan dan kesinambungan dan ditafsirkan ulang saat ini oleh para seniman.

Perhelatan budaya ini, selain peringatan keniscayaan Sumpah Pemuda 2024 juga mengingatkan kita betapa cita-cita substansial di Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 di alinea ke-4, yakni negara, dalam hal ini pengelola negara/ pemimpin bangsa berkewajiban Mencerdaskan kehidupan Bangsa serta Menjamin Keadilan Sosial.

Sementara, warga negara (masyarakat sipil) memiliki hak membangun secara swadaya makna “Kecerdasan dan Pengetahuan Yang Luas — adalah lelaku merevolusi pemikiran secara nalar dan spiritual, melalui mental /psikologis pun dalam ranah Kebudayaan”.

Maka, helatan Malam Seni dan Budaya “Ke hulu mencari akar, ke hilir ikuti aliran air. Ke Melayu kita belajar, temui Bahasa Indonesia yang terlahir” dengan seluruh partisipan seniman dan sastrawan semacam upaya bersama, layaknya ingatan komunal, bahwa tugas penting sebagai warga negara dan refleksi kritisnya di tahun politik pada pemimpin bangsa yakni:

Baca Juga :  Menteri Dito Ariotedjo Ingin Program Prioritas Kemenpora Tepat Sasaran dan Harus Menyentuh Masyarakat Luas

Semata-mata menjaga agar marwah Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 maupun warisan tentang Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tak lekang dalam ingat.

Seni memang tak semata hanya pembahasan yang dianggap estetis — pencarian tentang makna – makna mendalam tentang yang indah dan memukau, namun ada jejak ingatan yang jelas bahwa elemen etika — yang baik dan benar secara moral, menjadi fundamen dalam penciptaan karya-karya dengan memahami situasi terkini kebangsaan kita.

Perhelatan ini sekaligus sebagai sebuah pernyataan bersama bahwa Keadilan sosial wajib ditegakkan dan sejarah masa lalu, terutama tentang Ke-Melayuan selayaknya tetap dijaga sebagai monumen ingatan bagi bangsa pada perayaan Sumpah Pemuda 2023 ini.

)***Oleh Bambang Asrini, Koordinator Acara dan Kurator Seni

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *