URITANET – Tanggal 20 Mei tahun ini kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-113. Inilah hari besar nasional yang tertua, bahkan lebih tua dari usia Republik Indonesia. Kalau di tahun 1908 komunitas STOVIA menggulirkan Pergerakan Kebangkitan Nasional Boedi Oetomo untuk mempersatukan berbagai komponen bangsa melawan tantangan pada masa itu yaitu penjajahan.
Maka di tahun 2021 ini kita sedang menghadapi tantangan yang lebih berat lagi yaitu krisis multidimensional. Di bidang kesehatan ada krisis Covid-19 yang masih berkecamuk dan sudah merenggut banyak jiwa.
Di bidang ekonomi, banyak perusahaan gulung tikar, pengangguran kian marak, daya beli masyarakat merosot, beban jutaan keluarga kian berat, terlebih berat lagi beban pemerintah. Dan di bidang politik, Demokrasi Pancasila tampaknya sedang digerogoti bahkan dikhianati, sementara demokrasi liberal kian kebablasan.
Di bidang sosial, moralitas semakin merosot, jati diri terlepas, kesantunan semakin terdegradasi dan adat istiadat terancam, solidaritas kebangsaan terkikis, masyarakat menjadi terkotak-kotak; yang kuat menang, yang lemah tergilas.
Di bidang hukum, keadilan menjauh karena kebenaran diganti dengan pembenaran, sementara perselingkuhan antara hukum dan politik kian marak. Pembuat hukum dan penegak hukum pun banyak yang terjerat kasus-kasus hukum, sehingga ketaatan hukum dalam masyarakat mengendor karena tidak adanya keteladanan, sementara kewibawaan hukum tergerus.
Di bidang kemanusiaan, penegakan hak asasi manusia (HAM) masih dianggap sebagai musuh penegakan hukum, padahal semestinya keduanya adalah pasangan yang berjalan seiring.
Akhirnya Kementerian Hukum dan HAM dibentuk agar penegakan hukum dilakukan berbarengan dengan penegakan HAM. Kepastian hukum ditegakkan, tetapi nyatanya kadangkala keputusan hukum itu tidak otomatis menghasilkan keadilan demi menegakkan HAM.
Dan juga Komnas HAM dibentuk untuk serta merta menegakkan HAM. Kepastian HAM diteriakkan, tetapi nahasnya kewajiban asasi manusia (KAM) untuk mentaati aparat polisi diabaikan. Lengkapnya, HAM dan KAM haruslah selaras!
Baca juga : Spirit Membangun Peradaban
Di bidang penyelenggaraan negara, tuntutan aspirasi masyarakat jauh melampaui kecepatan birokrasi untuk mengejar dan meladeninya, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Energi negara terkuras untuk meladeni berbagai tuntutan dari sejumlah kecil kelompok masyarakat, padahal bagian terbesar rakyat kita mempunyai banyak kebutuhan mendasar yang sangat perlu dipenuhi.
Di bidang kerohanian, agama sering ditunggangi untuk memenuhi hasrat dan libido kepentingan kelompok, sementara ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa sering dikaburkan bahkan terhapus oleh kepentingan duniawi. Karena agama sering dijalankan secara prosedural-normatif, tanpa substansi kerohanian yang semestinya agar manusia hidup berakhlak dan beradab.
Di bidang budaya, pergantian generasi terpengaruh oleh masuknya berbagai informasi di era globalisasi yang mengikis akar-akar adat-istiadat dan kearifan lokal budaya bangsa kita.
Akibatnya, pola pikir dan perilaku masyarakat semakin bergeser dari fondasi nilai-nilai budaya kita, bahkan sebagian masyarakat mungkin sudah tercabut dari norma-norma budaya daerahnya sendiri.
Di bidang keamanan, ancaman terbesar bangsa kita justru muncul dari dalam negeri sendiri ketika konsensus persatuan dan kesatuan bangsa dikalahkan oleh kepentingan masing-masing kelompok, sementara arus informasi global membawa serta pelbagai unsur perpecahan yang perlu senantiasa diwaspadai. Ada lagi ancaman proxy-wars yang masuk dari luar yang rentan dapat melemahkan bangsa ini dari dalam tanpa disadari.
Catatan di atas hanyalah sebagian tantangan besar yang kini kita hadapi sebagai negara dan bangsa. Tetapi akhir-akhir ini kita menyaksikan betapa banyak waktu dan energi kita terkuras untuk segala macam opini dan manuver yang tidak mengarah ke solusi untuk mengatasi semua persoalan yang sedang kita hadapi.
Bagaikan kapal besar yang sedang diterpa angin badai dan gelombang besar di tengah lautan lepas dan kapal itu sedang bocor di sana-sini, tetapi ABK dan penumpang sibuk bertengkar dan berkelahi, bahkan antara sesama ABK dan sesama penumpang pun terjadi percekcokan.
Baca juga : Tekan Produk Impor, Minta Pemerintah Atur Regulasi Pasar Digital
Karena itu, menyongsong Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2021, baiklah kita menenangkan diri sejenak dan merenungkan, betapa jauhnya kapal besar ini sudah berlayar, sudah sekian lama membawa kita semua, baik penyelenggara negara sebagai ABK, maupun rakyat sebagai penumpang sekaligus pemilik kapal itu.
Di Hari Kebangkitan Nasional tahun ini kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah kapal besar ini akan kita perbaiki dan pertahankan agar kita semua selamat; ataukah kita biarkan kerusakannya sehingga akhirnya kita bisa tenggelam bersama?
Pola pikir kita sebagai warga bangsa yang cinta Indonesia sebagai Tanah Tumpah Darah, seharusnya tetap kukuh untuk melakukan berbagai upaya dalam memberdayakan kapal besar ini.
Tidak ada manusia dan pemerintah yang sempurna di bumi. Yang kita butuhkan bukan ulah-ulah yang semakin membocorkan kapal ini, tetapi masukan-masukan yang bermanfaat untuk memperbaiki kerusakan di segala tempat, di segala bidang.
Karena semangat Kebangkitan Nasional 1908 adalah cita-cita bangsa yang digaungkan di Soempah Pemoeda 1928 dengan rumusan Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.
Secara filosofis, meskipun selama ini kita mengaku bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, tetapi sementara kita berbahasa satu, ternyata kita sering tidak saling mengerti. Maka, bahasa di sini perlu diberikan pengertian yang lebih luas yang mencakup cita-cita bersama sebagai bangsa yang bersatu di satu tanah air yang sama.
Berbahasa satu tidak hanya terbatas pada penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca, melainkan kesamaan cita-cita bernegara, dengan kesamaan tujuan dan arah langkah dari semua komponen bangsa sesuai amanat konstitusi.
Berbahasa satu juga berarti ada kesamaan definisi dan pemahaman tentang cita-cita ketika kita berhimpun sebagai bangsa. Meskipun cara menempuh cita-cita itu bisa berbeda dari satu rezim ke rezim berikutnya, seyogyanya cita-cita bangsa kita sampai sekarang tetaplah sama.
Karena itu, maka dengan semangat persatuan yang dibawa oleh Hari Kebangkitan Nasional ini, perlu kita tambahkan satu aspek lagi ke dalam makna Soempah Pemoeda, yaitu Bercita-cita Satu, sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita bernegara yaitu:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Bercita-cita Satu sebagai bangsa ini yang perlu kita masyarakatkan sebagai konsensus nasional agar semua komponen bangsa ini, meskipun berbeda-beda orientasi dan kepentingan, tetap konsisten kepada satu cita-cita bersama, sehingga kapal besar yang bocor ini bisa diperbaiki secara bergotong-royong demi kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita bersama.
Kita perlu belajar lagi makna dari ungkapan kenegarawanan yang diucapkan oleh Manuel L. Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) yang mengatakan,
“My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.”
Presiden Amerika Serikat John F Kennedy kemudian mempopulerkan ungkapan kenegarawanan itu di tahun 1961-1963 dan di Indonesia ungkapan ini tak asing di telinga banyak tokoh politik:
“Don’t ask your country what your country can do for you, but ask yourself what you can do for your country.” Yang masih asing selama ini adalah implementasinya.
Baca juga : Ajak Konsumen Lebih Berdaya Pulihkan Ekonomi Bangsa
Sebab andaikata benar bahwa kita memahami dalamnya makna dari ungkapan kenegarawanan tersebut, maka panggung politik di negeri ini tidak akan seperti yang kita lihat sekarang, yang justru terbalik dari ungkapan itu, yaitu yang serta merta mengedepankan hak dan wewenangnya, yang seharusnya mengedepankan tugas dan tanggung jawabnya!
Satu lagi hal yang sangat penting saya tempatkan di akhir tulisan ini, yaitu: krisis kepemimpinan. Kita memiliki ‘too many leaders but not enough leadership’; terlalu banyak penguasa tetapi terlalu sedikit pemimpin.
Ini pun merupakan tantangan bagi kita dan tantangan ini harus diatasi dengan jalan menciptakan banyak pemimpin, bukan memproduksi sebanyak mungkin penguasa atau politikus.
Karena pada umumnya, seorang penguasa atau politikus akan sibuk berpikir tentang ‘the next election’, tetapi sebaliknya seorang pemimpin akan sibuk berpikir tentang ‘the next generation’. Seperti ada pemeo yang cukup dikenal:
‘True leader does not only create many followers, but also more leaders.’
Oleh : Dr. Richard Hamonangan Pasaribu, B.Sc., M.Sc.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, Dapil Kepri, Wakil Ketua Badan Kerjasama Parlemen, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Parlemen (BKSP)