Jakarta (Uritanet) :
Gelombang somasi yang diterima sejumlah media terkait pemberitaan dinamika di lingkungan YBTA memantik perhatian publik. Situasi ini membuat perwakilan kuasa hukum dan pihak terkait mengambil langkah penting: mendatangi Dewan Pers untuk memastikan apakah tindakan media selama ini telah berdiri di rel aturan.
Dalam konsultasi tersebut, Magdalena Handry selaku Pihak YBTA menegaskan bahwa tujuan kedatangan mereka bukan untuk mempertajam konflik, tetapi memastikan semua langkah berpijak pada hukum yang jelas.
“Hari ini kami berkonsultasi dengan Dewan Pers terkait media-media yang diberikan somasi oleh pihak YPPBA. Kami ingin mendapatkan panduan apakah langkah yang dilakukan selama ini benar atau salah,” ujar Magdalena Handry yang didampingi kuasa hukumnya, Chandra Goba, SH.

Konsultasi untuk Meluruskan Prosedur Somasi
Chandra Goba menjelaskan bahwa beberapa media telah memberitakan kasus yayasan, namun justru menerima somasi dari pihak GSM British Pendidikan Belajar Aktif. Kebingungan pun muncul karena langkah tersebut dipandang tidak sesuai mekanisme.
“Kami ingin memastikan dan meng-clear-kan posisi media yang diberi somasi. Dewan Pers adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah langkah tersebut sesuai,” tegasnya.
Sementara itu, Dewan Pers memberikan garis tegas: bahwa Pihak yang keberatan tidak dapat langsung melayangkan somasi ke media. Mekanismenya wajib melalui Dewan Pers.
Jika ada pelanggaran, Dewan Pers yang akan memberi rekomendasi. Jika tidak ada pelanggaran, media tidak wajib menurunkan berita meski somasi telah dilayangkan.
Ketua Umum Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat, kembali mengingatkan marwah jurnalistik Indonesia: setiap keberatan terhadap produk jurnalistik, termasuk permintaan takedown, hanya dapat diproses melalui Dewan Pers, bukan tekanan langsung ke redaksi.
Perwakilan Dewan Pers menegaskan bahwa lembaganya adalah satu-satunya ruang resmi penyelesaian sengketa pemberitaan. Mereka tidak masuk pada konflik internal lembaga apa pun—yang mereka awasi hanya produk jurnalistik.
“Siapa pun, institusi atau personal, wajib lewat Dewan Pers. Kami yang melakukan mediasi dan analisa,” tegasnya lagi.
Dewan Pers bahkan memberi peringatan keras:
Jika ada pihak memaksa media melakukan permintaan maaf atau takedown di luar prosedur, ada potensi ‘hengki-pengki’.

Media Diminta Tidak Takut dengan Somasi di Luar Prosedur
Kuasa hukum, Chandra Goba, SH, kembali menegaskan bahwa media berada pada jalur benar selama mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan prinsip cover both sides.
“Media yang memberitakan persoalan ini tidak perlu takut. Selama berita dibuat berdasarkan kode etik, tidak ada masalah.”
Pakar Komunikasi Prof. Effendi Gazali turut memperkuat pandangan tersebut. Ia menyebut Dewan Pers sebagai jangkar kebenaran, tempat di mana truth dan post-truth diuji melalui mekanisme sah dan transparan.
Effendi menjelaskan bahwa akar persoalan sering muncul dari ketidaktertiban administratif—bukan dari kerja jurnalistik. Ia mendorong jurnalis tetap menulis, selama berada di koridor etika.
“Jalan terus,” tegasnya, mengutip ulang sikap Dewan Pers.
Ia juga menyinggung PPMS butir lima, yang menegaskan bahwa setiap guru tidak boleh dihapus kecuali dalam kondisi tertentu. Prinsip ini menjadi pilar dalam membaca legalitas pengelolaan sekolah.
Berikan Ruang bagi Semua Pihak, Kembalikan Sengketa pada Jalur Pendidikan
Effendi mengingatkan bahwa semua pihak—baik pengelola sekolah maupun yayasan—punya hak menyampaikan pendapat. Namun ia menolak keras praktik pengambilalihan sekolah tanpa dasar hukum.
“Bagaimana bisa ada sekolah, izinnya punya dia, operasionalnya punya dia, lalu diambil alih? Itu sekolah bodong. Tidak bisa di negara ini.”
Pernyataan tersebut menutup ruang abu-abu dan mengembalikan sengketa pada jalur regulasi: Dewan Pers, aturan pendidikan, kode etik jurnalistik, dan legalitas operasional.

Lisensi HighScope di Indonesia
Putusan PN Jakarta Selatan No. 853/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Sel menjadi titik balik besar. Untuk pertama kalinya, pelanggaran lisensi HighScope oleh PT HighScope Indonesia (kini PT RDA Mangunkarsa) dan YPPBA terungkap terang-benderang. Majelis Hakim menegaskan: Penggugat tidak memiliki legal standing, sehingga gugatan tidak dapat diterima
Ketika tabir hukum terkuak, kebenaran menampakkan wajahnya. Pendidikan tidak boleh menjadi ruang manipulasi.
Media tidak boleh dibungkam oleh tekanan. Prosedur harus dihormati. Etika harus dijunjung.
Konsultasi ke Dewan Pers ini menjadi pengingat bahwa integritas jurnalistik adalah napas demokrasi yang tak boleh padam.
Pada akhirnya, keberanian media menjaga integritas dan konsistensi hukum dalam dunia pendidikan adalah cahaya yang menuntun publik menuju kejelasan. Selama bekerja dalam koridor etika, jurnalisme akan selalu menemukan jalannya — dan kebenaran akan selalu menemukan suaranya.
)*** Yuri / Foto Yok.

