Sidang PTUN Jakarta : Kuasa Hukum Minta Negara Hadir Menjembatani Konflik Lahan antara Warga dan Inkopal

Bagikan ke orang lain :

Jakarta (Uritanet) : 

Persidangan perkara Nomor 236/G/2025/PTUN.JKT kembali digelar oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (12/11/2025). Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyangkut sengketa lahan antara warga penghuni dan Inkopal, dengan substansi utama terkait proses penerbitan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dinilai menyimpang dari ketentuan hukum.

Kuasa hukum penggugat, Subali, SH, menegaskan kepada majelis hakim bahwa akar masalah bukan hanya administratif, melainkan menyentuh sisi keadilan sosial dan kemanusiaan. Ia menilai, negara harus hadir untuk menjembatani konflik dan memastikan proses hukum berjalan sesuai asas keadilan.

“Kami sudah bersurat ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan telah mendapat calon ahli hukum tanah yang berkompeten. Kami berharap saksi ahli berasal dari dosen senior karena perkara ini menyangkut konversi tanah negara,” ujar Subali dengan nada tegas setelah persidangan.

Ia juga menekankan, hukum tertinggi adalah perdamaian, bukan sekadar kemenangan satu pihak. Namun hingga kini, belum ada kesepahaman antara warga dengan pihak Inkopal.

“Kami berharap negara hadir sebagai penengah, bukan membiarkan warga berjuang sendiri,” tambahnya.

Semangat TNI untuk rakyat, rakyat untuk TNI harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kami yakin Bapak Menhan akan merespons positif langkah mediasi ini demi kepentingan bersama, ungkap Subali.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan agar tidak ada tindakan pengosongan lahan sebelum ada putusan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan. Menurutnya, pengosongan sebelum keputusan final merupakan pelanggaran terhadap asas negara hukum yang melindungi hak-hak warga negara.

“Negara kita ini negara hukum. Jangan sampai ada pengosongan tanpa putusan pengadilan. Warga sudah menempati lahan itu sejak masih berstatus tanah negara,” tegasnya lagi.

Pihak penggugat tetap optimistis bahwa majelis hakim akan mengabulkan gugatan mereka. Berdasarkan logika hukum dan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1965, tanah negara yang tidak digunakan untuk kepentingan bisnis semestinya dikonversi menjadi HPL agar bisa dimanfaatkan masyarakat secara adil dan sah.

“Seharusnya tanah negara dikonversi dulu menjadi HPL, baru dilekati hak guna bangunan sesuai pemanfaatannya. Karena proses itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya, akhirnya janji kepada warga menjadi terputus. Kami berharap majelis hakim bisa memutus dengan seadil-adilnya,” tutup Subali penuh harap.

Sidang lanjutan dijadwalkan pekan depan, dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari kalangan akademisi hukum tanah. Publik menanti langkah konkret negara untuk memastikan keadilan benar-benar hadir, bukan hanya dalam teks hukum, tetapi juga dalam kehidupan rakyat yang menggantungkan harapan pada tanah yang mereka pijak.

Persidangan ini bukan sekadar perdebatan administratif di ruang hukum, tetapi juga cerminan perjuangan rakyat dalam menuntut keadilan atas hak hidup dan penghidupan. Ketika hukum berpihak pada nurani, maka keadilan sejati bukan lagi utopia — melainkan kenyataan yang berakar dari suara rakyat yang tak pernah padam.

)***Tjoek / Foto Istimewa

Bagikan ke orang lain :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *