Jakarta (Uritanet) :
Pemutaran musik di ruang publik bukan sekadar urusan hiburan, tetapi juga menyentuh ranah hukum yang diatur melalui Undang-Undang Hak Cipta. Di atas kertas, aturan jelas menyebutkan kewajiban membayar royalti bagi penggunaan komersial.
Namun di lapangan, celah hukum muncul akibat perbedaan interpretasi, minimnya sosialisasi, dan penerapan yang belum konsisten.

Pertama ; Definisi Penggunaan Komersial yang Kabur .
Batas antara penggunaan pribadi dan komersial seringkali samar. Contohnya, apakah streaming pribadi dari platform seperti Spotify di kafe atau restoran masuk kategori penggunaan komersial yang wajib membayar royalti tambahan? Ketidakjelasan definisi ini kerap menjadi sumber perdebatan.
Kedua ; Tarif Royalti yang Sulit Dipahami.
Tarif yang diberlakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) belum sepenuhnya dimengerti oleh pelaku usaha, terutama UMKM. Minimnya sosialisasi membuka celah bagi oknum untuk memanfaatkan kebingungan ini.
Ketiga ; Pungutan yang Dinilai Kurang Adil.
Bagi sebagian pelaku usaha kecil, sistem pungutan royalti dianggap belum proporsional dengan skala usaha mereka. Kekhawatiran ini membuat isu royalti sering dipandang sebagai beban ketimbang bentuk penghargaan terhadap karya musisi.
Keempat ; Sengketa yang Berlarut-Larut.
Mekanisme penyelesaian sengketa royalti dinilai belum efektif. Banyak pelaku usaha yang kesulitan mencari jalur penyelesaian cepat dan adil.
Kelima ; Kasus Mie Gacoan Bali: Ilustrasi Nyata Celah Hukum.
Kasus yang menimpa gerai Mie Gacoan di Bali menjadi sorotan. Meski memiliki langganan Spotify, penggunaan musik di ruang publik tetap dianggap memerlukan lisensi komersial. Peristiwa ini memicu perbincangan luas soal relevansi aturan dengan perkembangan teknologi.
Dan Keenam ; Solusi yang Membangun Ekosistem Adil.
Untuk menutup celah hukum ini, beberapa langkah dapat diambil:
a.Sosialisasi Intensif kepada pelaku usaha, khususnya UMKM, tentang regulasi royalti.
b.Penyederhanaan Tarif agar selaras dengan skala usaha dan tidak membebani.
c.Mekanisme Sengketa yang Efektif sehingga masalah dapat diselesaikan dengan cepat dan transparan.
d.Peningkatan Transparansi LMKN dalam pengelolaan dan distribusi royalti.
e.Pendekatan Edukasi dan Fasilitasi, bukan sekadar penegakan hukum yang kaku.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan pola konsumsi musik, keberpihakan pada keadilan bagi semua pihak menjadi kunci. Perlindungan hak cipta harus berjalan beriringan dengan keberlangsungan usaha.
Jika musik adalah bahasa universal, maka keadilan dalam aturannya adalah nadanya. Mengharmoniskan keduanya bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga bentuk penghargaan pada kreativitas dan keberlanjutan ekonomi kreatif di Indonesia.
)***Mr.TJ ; Pemerhati Musik dan Industri.

