Jakarta (Uritanet) :
Talkshow Catatan Demokrasi tvOne kembali menyita perhatian publik pada Selasa malam (22/7/2025). Episode kali ini mengangkat tema tajam dan kontroversial: “Dikecam, Sound Horeg Difatwa Haram.” Diskusi berlangsung panas, namun tetap bernas.
Salah satu tokoh yang mencuri perhatian adalah Gus Rofi Mukhlis, akrab disapa Cak Ofi—Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN) sekaligus pengusaha kuliner yang kini menaungi brand Kampung Family di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Dengan gaya tenang tapi menusuk, Cak Ofi membuka narasi dari sisi yang jarang tersorot: sisi kemanusiaan dan ekonomi akar rumput.

Ia pun mengajak publik untuk melihat isu fatwa haram penggunaan sound system atau yang kini populer disebut “sound horeg” secara multi-perspektif—bukan sekadar dari sudut pandang keagamaan, tetapi juga sosial dan keberlanjutan hidup rakyat kecil.
“Saya ini santri. Saya mondok di Bangil dan Kediri. Tentu saya menghormati para kiai dan ulama. Tapi saya juga punya teman-teman yang cari makan dari sound system,” ucapnya tegas namun empatik.
Ia menyebutkan bahwa di Malang saja terdapat lebih dari 1.200 pelaku usaha sound system, dengan masing-masing usaha mempekerjakan 10–20 karyawan. Jika pelarangan terjadi tanpa transisi yang adil, efek domino-nya bisa melumpuhkan ekosistem ekonomi mikro yang menggantungkan hidup pada pesta rakyat.
“Bayangkan, tidak hanya operator sound yang terdampak. Tukang cilok, penjual sempol, pedagang mie di sekitar hajatan juga kehilangan penghasilan. Ini bukan isu kecil.”

Dalam forum itu, Cak Ofi juga dengan lugas mengkritisi mekanisme pemberian fatwa. Menurutnya, fatwa seharusnya menjadi hasil akhir dari proses panjang edukasi dan regulasi yang matang, bukan palu yang memutus harapan masyarakat secara sepihak.
“Kalau sudah dibilang haram, yang menolak bisa dicap berdosa. Padahal kita semua siap diatur, asal jangan langsung dilarang. Ada keluarga yang menggantungkan hidup dari ini.”. tukasnya.
Ia menegaskan, BKN dan para pelaku usaha hiburan lokal tidak anti-regulasi. Justru mereka mendambakan kejelasan aturan. Misalnya, pembatasan jam operasional, batas desibel suara, hingga lokasi penggunaan bisa dibicarakan—asal adil dan tidak diskriminatif.
Cak Ofi juga menyinggung persoalan standar ganda yang berpotensi menciptakan ketegangan horizontal:
“Sholawatan juga pakai speaker besar, tapi karena ibadah jadi dimaklumi. Lalu hajatan rakyat yang juga mengandung unsur budaya dan sosial dilarang? Ini harus dibicarakan, jangan dibiarkan jadi bara.” jelasnya.
Lebih lanjut, Cak Ofi memberikan contoh konkret sikap terbuka terhadap kritik melalui usahanya sendiri. Produk tahu mercon miliknya yang dikenal pedas, kini direformulasi lebih ramah lidah akibat banyaknya masukan pelanggan. Menurutnya, kritik hanya akan berdampak jika dibarengi dialog, bukan monolog.
“Mulai 1 Agustus nanti, tahu mercon kami jadi 50% lebih kalem. Ini bukti bahwa masukan publik itu penting, tapi harus ada ruang komunikasi dua arah.”, tukasnya.

Meneguhkan Dialog, Bukan Dogma
Kehadiran Cak Ofi dalam forum nasional ini bukan sekadar suara minoritas, tapi cerminan bahwa rakyat bawah juga butuh panggung untuk bicara. Bahwa ada harapan agar ulama, tokoh masyarakat, dan pembuat kebijakan mau merangkul, bukan memukul. Diskusi publik bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang menjembatani kepentingan umat dengan nalar kebijakan.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan urbanisasi, “sound horeg” bukan hanya simbol kemeriahan, tapi urat nadi ekonomi lokal. Melabeli secara sepihak tanpa solusi adalah pendekatan yang usang. Sebaliknya, pendekatan dialog dan regulasi progresif bisa jadi jembatan antara nilai-nilai religius dan hak hidup masyarakat.
Di zaman ketika semua bisa diviralkan, kita tidak hanya butuh suara lantang—tapi juga suara yang menjembatani. Dan malam itu, Cak Ofi mengingatkan kita bahwa antara hukum dan kemanusiaan, selalu ada ruang dialog untuk menyelamatkan keduanya.
Bila suara rakyat adalah suara Tuhan, janganlah kita mematikan speaker-nya. Mantap.
)*** Tjoek / Foto Istimewa

