Jakarta (Uritanet) :
Kamis, 6 Maret 2025, pukul 14.00 WIB , di Lt 1 Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro No.74, Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu berlangsung Konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Bertajuk Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi.
Dihadiri Dimas Bagus Arya (Kontras); Husein (Imparsial);
Ichsan (Centra Initiative); Arif Maulana (YLBHI); Teo Reffelsen (WALHI); Al Araf (Centra Initiative); Nurina Savitri (Peneliti Amnesty International Indonesia); Sonia (Aji Jakarta); Annas Robbani (BEM Si); Batara (Dejure)
Dalam kesempatan tersebut, Dimas Bagus Arya (Kontras) mengatakan antara lain :
a. Kalau kita bandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, ada pola yang menarik dalam kabinet Prabowo. Di era SBY, hanya ada satu pejabat berlatar belakang militer di awal pemerintahannya, yaitu Sudi Silalahi sebagai Menseskab. Lalu, di periode pertama Jokowi, ada dua orang, yaitu Tejo Edy sebagai Menkopolhukam dan Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan. Tapi, di era Prabowo, jumlahnya melonjak drastis ada sekitar 10 orang dengan latar belakang militer, bahkan satu di antaranya masih berstatus aktif, yaitu Tedi Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet.
b. Bukan hanya itu, Prabowo juga menempatkan orang-orang berlatar belakang militer di posisi penting yang terkait langsung dengan implementasi program pemerintah. Misalnya, di Badan Gizi Nasional, dari 8 orang yang mengisi posisi manajerial, 5 di antaranya berlatar belakang militer. Ini menunjukkan bahwa Prabowo bukan hanya memiliki jaringan kuat di kalangan militer, tapi juga mengedepankan loyalitas kepada rekan-rekannya di dunia militer.
c. Ada juga indikasi bahwa Prabowo sedang melakukan rekonsolidasi jaringan lama, termasuk dengan Tim Mawar. Nama-nama seperti Nugroho sebagai Kepala BSSN, Yuloli Selfanus sebagai Gubernur Sulawesi Utara, dan Unting Budiarto sebagai Komisaris Utama PT TransJakarta menjadi contoh bagaimana orang-orang dari lingkarannya ditempatkan di posisi strategis.
d. Yang lebih mengkhawatirkan, ada upaya untuk mengubah Pasal 47 ayat 2 dalam RUU TNI, yang jika disahkan, akan memberi legitimasi lebih besar bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Konsekuensinya, profesionalisme TNI bisa mundur, dan meritokrasi di sektor sipil akan terganggu.
e. Lihat saja bagaimana keterlibatan TNI dalam berbagai program pemerintah. Program MBG (Makan Bergizi), misalnya, melibatkan 351 Kodim, 14 Lantamal, dan 41 Lanud. Sementara itu, dalam proyek Food Estate, TNI sudah terlibat sejak Prabowo menjadi Menhan, dengan pengerahan batalyon ke Kalimantan Tengah dan Papua untuk membuka lahan.
f. Fenomena ini menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo sangat kental dengan corak militeristik. Posisi-posisi strategis seperti Menko Infrastruktur, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Transmigrasi, hingga berbagai Wakil Menteri dan Kepala Lembaga diisi oleh orang-orang dari militer.
g. Kenapa bisa seperti ini, Salah satu alasan utamanya adalah Prabowo tidak percaya pada politisi dan birokrat sipil. Koalisi politiknya juga tidak cukup solid, sehingga dia lebih nyaman mempercayakan jabatan kepada kalangan militer, yang dianggapnya lebih loyal dan disiplin.
h. Tapi, apakah ini baik bagi demokrasi, Justru sebaliknya. Dengan semakin banyaknya peran militer di ranah sipil, profesionalisme TNI bisa semakin melemah, dan meritokrasi di pemerintahan jadi terganggu. Belum lagi, kasus-kasus kekerasan oleh anggota militer mulai bermunculan lagi, mengingatkan kita pada era Orde Baru. Tanpa pengawasan yang ketat dan tanpa revisi undang-undang peradilan militer, impunitas bagi aparat militer bisa semakin besar.
i. Bahkan, laporan dari Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun menjadi 6,44, masuk dalam kategori “demokrasi cacat”. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah RUU TNI yang sedang didorong. Jika ini disahkan, maka peran militer dalam tata kelola negara dan urusan sipil akan semakin besar, dan kita bisa melihat militerisasi pemerintahan yang lebih masif ke depannya.
Sedangkan Husein (Imparsial) menambahkan :
Jadi, kalau kita bicara soal upaya militerisasi kehidupan sipil di Indonesia, ini memang sudah terjadi, tapi dampaknya akan jauh lebih besar kalau revisi Undang-Undang TNI ini gol. Revisi inilah yang menjadi jantung dari semua ini.
Sekarang memang kita sudah melihat TNI ada di Food Estate, Proyek Strategis Nasional (PSN), dan berbagai jabatan sipil, tapi dasar hukumnya masih lemah. Itu sebabnya kelompok masyarakat sipil seperti YLBHI, Kontras, dan lainnya sebenarnya masih bisa menggugat. Tapi kalau revisi ini disahkan, semuanya akan jadi legal.
Alih-alih memperketat pengawasan terhadap TNI—yang selama ini kita tahu ada kasus korupsi di Basarnas, ada kekerasan terhadap masyarakat sipil, dan bahkan ada anggota TNI yang menyerang kantor polisi—revisi ini justru meminta perluasan kewenangan TNI.
Perlu dipahami juga, ada dua draft yang beredar:
Pertama ; Draft Babinkum TNI (2023), yang dianggap sangat bermasalah karena mengotak-atik pasal 7 dan 47.
Kedua ; Draft Baleg DPR, yang lebih “halus” tapi tetap membahayakan.
Saat ini, TNI hanya boleh menduduki jabatan sipil di 10 lembaga yang memang terkait dengan urusan pertahanan. Kalau direvisi, TNI bisa masuk ke jabatan sipil mana pun, termasuk kementerian dan BUMN. Artinya, tidak ada lagi batasan militer bisa masuk ke berbagai posisi di pemerintahan tanpa ada hambatan.
Dampaknya :
TNI akan kehilangan fokus sebagai alat pertahanan negara. Militer itu dibentuk untuk berperang dan menjaga pertahanan negara, bukan untuk mengurus proyek pangan atau perusahaan negara. Sekarang, perang bukan lagi soal jumlah pasukan, tapi soal penguasaan teknologi militer yang canggih. Kalau TNI sibuk ngurus beras di Bulog, sawit, atau PSN,
Merusak sistem ASN dan meritokrasi. Sekarang saja, sebelum revisi ini lolos, sudah ada 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil, dan ini mereka akui sendiri dalam acara Lemhanas. Bayangkan seorang ASN yang sudah bekerja bertahun-tahun, berkarier dengan baik, dan menunggu promosi, tiba-tiba jabatannya diambil oleh seorang jenderal TNI yang masuk begitu saja. Ini bukan hanya merusak semangat ASN, tapi juga merusak sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar dalam birokrasi sipil.
Kembalinya TNI ke dunia bisnis.
Saat ini, Undang-Undang TNI melarang prajurit untuk berbisnis. Tapi dalam revisi ini, larangan itu ingin dihapus. Alasannya Karena ada prajurit yang ngojek atau jual sayur di lapangan, Ini alasan yang salah. Kalau prajurit sampai harus ngojek atau berjualan, itu masalah kesejahteraan, dan yang harus bertanggung jawab adalah Panglima TNI dan pemerintah, bukan malah membuka kembali bisnis militer seperti di zaman Orde Baru.
Kalau revisi ini lolos, militer bisa kembali menguasai bisnis besar, dari perkebunan, tambang, hingga proyek-proyek strategis negara.
Upaya militerisasi ini bukan sekadar spekulasi, tapi nyata. Dan semua ini bergantung pada revisi Undang-Undang TNI. Kalau revisi ini lolos, maka militer akan semakin kuat di ranah sipil, mengancam profesionalisme TNI sendiri, merusak sistem ASN, dan membuka jalan bagi kembalinya bisnis militer.
Selanjutnya, Ichsan (Centra Initiative) mengatakan bahwa
Reformasi TNI harus berlangsung dua arah. TNI harus memiliki komitmen untuk berubah, sementara pemerintah harus menghormati batasan peran militer dalam sistem demokrasi. Jika hanya satu pihak yang berusaha, reformasi tidak akan terjadi.
Wacana revisi Undang-Undang TNI, terutama Pasal 47, bukanlah bentuk reformasi, melainkan kemunduran. TNI tidak menolak keterlibatan dalam ruang sipil, dan pemerintah justru memberi jalan agar militer semakin leluasa mengambil alih jabatan sipil.
Sebagai catatannya terdapat dua masalah utama revisi ini:
Yakni Inferioritas sipil terhadap militer. Dimana pejabat sipil merasa tidak mampu mengelola negara tanpa keterlibatan militer. Mereka percaya bahwa hanya militer yang bisa mendisiplinkan birokrasi dan mempercepat pembangunan. Ini adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap kapasitas birokrat sipil sendiri dan menjadi alasan utama masuknya militer ke dalam sektor-sektor sipil.
Berikutnya, Perubahan dari kontrol sipil objektif ke kontrol sipil subjektif. Dimana Reformasi pasca-Orde Baru mengembalikan militer ke baraknya. Ini disebut kontrol sipil objektif, di mana militer hanya bertugas dalam bidang pertahanan dan perang. Sebaliknya, kontrol sipil subjektif terjadi ketika militer dilibatkan dalam berbagai aspek sipil, baik melalui penempatan dalam jabatan sipil maupun melalui struktur komando yang berorientasi militeristik.
Disamping Iyu, Revisi Pasal 47 akan melegitimasi pelanggaran Undang-Undang TNI. Saat ini, penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil sudah melanggar hukum, tetapi revisi ini akan mengubah pelanggaran itu menjadi sesuatu yang sah.
Bahaya terbesar dari revisi ini adalah sifatnya yang sangat fleksibel. Dengan menambahkan diksi yang longgar, militer bisa ditempatkan di kementerian atau lembaga mana pun, meskipun tidak berkaitan dengan pertahanan negara, jelasnya.
Bahkan argumen pemerintah dalam membenarkan penempatan militer di jabatan sipil itu juga lemah. Karena Pemerintah hanya menggunakan empat alasan, yakni Penempatan berdasarkan kompetensi prajurit; Pemerintahan sebelumnya sudah melakukan hal yang sama; Peran di kementerian dianggap relevan dengan tugas militer; dan Ada permintaan dari kementerian atau lembaga terkait
Tidak satu pun dari alasan ini berdasarkan Undang-Undang TNI yang berlaku. Faktanya, Undang-Undang TNI Pasal 47 Ayat 2 hanya memperbolehkan penempatan militer di 10 kementerian yang berkaitan dengan pertahanan.
Selain itu, banyak regulasi lain yang semakin membuka ruang bagi militer di sektor sipil, antara lain:
– UU ASN Pasal 19 Ayat 2
– PP No. 39 Tahun 2010 tentang administrasi prajurit TNI
– Permenhan No. 38 Tahun 2016 tentang tata cara prajurit TNI menduduki jabatan ASN
– Peraturan Panglima No. 61 Tahun 2018
– Perpres No. 55 Tahun 2020 tentang Sekretaris Kabinet
Semua regulasi ini semakin memperlebar jalan bagi militer untuk mengambil alih jabatan sipil di luar ketentuan Undang-Undang TNI yang sebenarnya.
Revisi Undang-Undang TNI bukan hanya ancaman bagi demokrasi, tetapi juga ancaman bagi profesionalisme TNI itu sendiri. Jika dibiarkan, militer akan kehilangan fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, sementara birokrasi sipil akan semakin terpinggirkan. Militerisasi sektor sipil harus dihentikan sebelum semakin mengikis demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
)*SC: Konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Bertajuk Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi ; Foto HrSBAr