Samarinda (Uritanet) :
Dalam suasana penuh antusiasme, Universitas Mulawarman menjadi tuan rumah acara Endgame Goes to Campus: Lyceum Endgame, bagian dari Policy Forum on Education 2024. Mengusung tema Batang Harmoni Ilmu, acara ini menghadirkan diskusi mendalam tentang pendidikan yang menghubungkan kearifan lokal dengan tantangan global.
Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Endgame, Pemimpin.id, Konsorsium Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (terdiri dari 18 lembaga termasuk Tanoto Foundation), dan Universitas Mulawarman. Lebih dari 200 peserta, termasuk mahasiswa dari seluruh penjuru Kalimantan Timur, menghadiri forum ini dengan semangat tinggi.
Salah satu momen berkesan adalah presentasi Arrida Hamzah, pemenang lomba karya tulis Policy Forum on Education 2024 dari Sulawesi. Ia menyampaikan gagasan tentang pendidikan berbasis lokal yang menghubungkan kebutuhan daerah dengan manfaat global. Dalam karyanya, Arrida menekankan pentingnya pelatihan guru sebagai pamong, di mana guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi fasilitator pembelajaran berbasis komunitas. Konsep ini menggugah kesadaran bahwa pendidikan harus relevan dengan konteks lokal tanpa mengorbankan kompetensi global.
Pada sesi diskusi yang dipandu oleh Gita Wirjawan, Visiting Scholar di Stanford University sekaligus host Endgame Podcast, berbagai permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan Indonesia dikupas secara kritis.
Nisa Felicia mengilustrasikan pendidikan dengan analogi pohon, di mana setiap bagiannya—akar, batang, ranting, dan daun—membutuhkan perawatan berbeda sesuai dengan jenisnya. Pandangan ini mengkritisi standarisasi pendidikan yang sering kali mengabaikan keberagaman kebutuhan di setiap daerah.
Gita Wirjawan menyoroti pentingnya meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru sebagai akar sistem pendidikan. Ia membandingkan status sosial guru di Indonesia dengan negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura, yang memberikan penghormatan tinggi kepada profesi ini.
Sementara itu, Hetifah Sjaifudian menyoroti ketimpangan sosial dalam akses pendidikan. Ia mengungkapkan bahwa banyak kebijakan yang belum benar-benar inklusif, sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia juga menekankan bahwa sistem saat ini terlalu berfokus pada persaingan masuk sekolah favorit yang didanai pemerintah, sementara kebijakan pendidikan belum sepenuhnya adaptif terhadap kebutuhan lokal.
Selain itu, Undang-Undang Guru dan Dosen, meskipun bertujuan meningkatkan pengakuan terhadap profesi guru, masih belum cukup untuk menjamin kesejahteraan mereka. Dalam paparannya, Arrida Hamzah juga mengangkat isu dampak neoliberalisme terhadap pendidikan, di mana pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di kota-kota besar membuat daerah pinggiran sering terabaikan.
Diskusi ini diakhiri dengan refleksi mendalam tentang masa depan kebijakan pendidikan Indonesia. Semua pembicara sepakat bahwa reformasi pendidikan harus dimulai dengan peningkatan kualitas guru dan relevansi kurikulum. Hetifah menekankan bahwa kurikulum yang baik hanya akan efektif jika guru memiliki pemahaman mendalam sebagai pelaksana utama.
Rangkaian Policy Forum on Education 2024 akan berlanjut dengan Chronicles bersama Bagus Muljadi di Universitas Riau pada 11 Januari 2025. Acara ini terus mendorong dialog berbasis kearifan lokal untuk membangun kebijakan pendidikan yang inklusif dan relevan bagi Indonesia, membentuk sistem pendidikan yang kuat berakar pada kebijaksanaan lokal, namun tetap bercabang luas menghadapi tantangan global.
)**Nawasanga