Uritanet– Jakarta, 9 Desember 2024, Di tengah ancaman perubahan iklim dan eksploitasi hutan, masih ada kisah harapan tentang keharmonisan antara manusia dan alam. TelusuRI, media perjalanan Indonesia, membuktikan hal ini melalui ekspedisi Arah Singgah sepanjang 2023-2024. Tim yang terdiri dari Mauren Fitri, Rifqy Faiza Rahman, dan Deta Widyananda menjelajahi hutan di 10 kabupaten di 6 provinsi: Jawa Tengah, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat Daya, dan Papua. Mereka menggali kearifan lokal masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan dengan prinsip keberlanjutan.
“Hutan bukan sekadar sumber daya, tetapi ibu yang memberikan kehidupan,” ujar Rifqy, menggambarkan filosofi masyarakat Papua. Di Sorong Selatan, hutan sagu menjadi nadi kehidupan. Satu pohon sagu diolah bersama-sama, dan masyarakat bijak menjaga keberlanjutannya dengan menyisakan tunas untuk tumbuh kembali. Tradisi ini diwariskan turun-temurun, mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam.
Kearifan lokal serupa juga ditemukan di Kalimantan Timur. Kampung Merabu, yang dijaga oleh Suku Dayak Lebo, tetap mempertahankan ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat, meski wilayah sekitarnya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat setempat memanfaatkan hasil hutan seperti madu, kayu obat, dan hasil buruan secara berkelanjutan, sekaligus mengembangkan ekowisata untuk meningkatkan kesejahteraan.
Di Riau, Desa Batu Songgan melindungi hutan dan sungai melalui aturan adat seperti hutan larangan dan lubuk larangan. Kawasan tertentu dijaga ketat dan hanya dibuka pada waktu tertentu, sehingga ekosistem tetap terjaga.
“Saat larangan dibuka, panen raya dilakukan bersama-sama, menciptakan harmoni antara manusia dan alam,” jelas Rifqy.
Ekspedisi ini juga menemukan kisah inspiratif dari individu seperti Samsul Bahri di Riau, yang merestorasi mangrove demi mengatasi banjir rob di desanya. Berkat kerja kerasnya, kawasan tersebut kini menjadi destinasi ekowisata. Di Jawa Tengah, upaya menanam kopi di Desa Brenggolo mengubah daerah yang sebelumnya gersang menjadi lahan produktif yang menopang kehidupan masyarakat sekaligus menjaga ekosistem.
Ekowisata terbukti menjadi solusi keberlanjutan yang menguntungkan. Di Kampung Malagufuk, Sorong, masyarakat menawarkan pengamatan burung cenderawasih sebagai daya tarik wisata. Sementara di Kampung Merabu, Kalimantan Timur, wisatawan diajak menjelajahi situs bersejarah seperti Goa Bloyot yang menyimpan lukisan purba dan Danau Nyadeng, sumber air bagi penduduk. Pendapatan dari ekowisata digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak setempat.
Dari Papua hingga Jawa, masyarakat adat menunjukkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus berbasis pada kearifan lokal.
“Kami belajar bahwa menjaga hutan bukan hanya tentang melindungi alam, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” tutup Rifqy.
**Benksu