Uritanet, Jakarta –
Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim bertajuk “Mengakselerasi Transisi Hijau : Peran Strategis Lembaga Filantropi di Indonesia” (21/11) yang dihadiri Perhimpunan Filantropi Indonesia, Dompet Dhuafa, Belantara Foundation, dan organisasi filantropi terkemuka di Indonesia yang tergabung dalam Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK), membahas langkah-langkah konkret dalam mengurangi perubahan iklim dan beradaptasi dengan konsekuensi yang tak terhindarkan.
Perlu diketahui, perubahan iklim adalah isu global yang mempengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Dan Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Termasuk peningkatan suhu di Indonesia dapat berpotensi mencapai 40 derajat Celcius dengan skenario iklim RCP 8.5 atau tanpa melakukan tindakan apapun. Dengan kata lain, kenaikan suhu akan terjadi dalam kisaran 0,8 derajat Celcius -1,4 derajat Celcius yang diperkirakan terjadi pada tahun 2040-2059.
Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim ini diinisasi oleh KFLHK dengan menghadirkan narasumber yang sangat berpengalaman pada bidang lingkungan dan iklim antara lain Guntur Sutiyono Country Lead Indonesia Climateworks Center; Arif Rahmadi Haryono General Manager Program Dompet Dhuafa; Jalal Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia; Uminatus Sholikah Pengurus Puspita Bahari; Alin Halimatussadiah Kepala Kajian Grup Penelitian Ekonomi Lingkungan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB-UI); dan Henriette Imelda Direktur Advokasi Kebijakan Indonesia Research Institute for Decarbonization.
Dan menjadi catatan, Bambang Brodjonegoro, selaku Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (2019 – 2021) yang menyampaikan bahwa pendanaan perubahan iklim kini semakin mengarah pada konsep keuangan campuran atau blended finance. Dimana transisi energi, sebagai salah satu strategi mitigasi utama, menghadapi dua tantangan besar yakni tingginya biaya investasi awal dan biaya modal.
Sementara emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terus menunjukkan tren peningkatan sejak 2010 hingga 2022, dan biaya investasi untuk energi terbarukan tetap tinggi. Tantangan inilah yang menuntut adaptasi dari pihak terkait, termasuk PLN yang perlu menyesuaikan model pembiayaan agar sejalan dengan transisi energi.
“Di sinilah peran lembaga filantropi menjadi sangat strategis, yaitu memobilisasi pendanaan swasta dengan skema yang tidak terlalu rumit, seperti hibah, pendanaan konvensional, atau jaminan yang difasilitasi oleh lembaga khusus maupun lembaga internasional seperti World Bank,” jelas Bambang.
Selain tentunya fokus pada mitigasi, filantropi juga berperan penting dalam pendanaan adaptasi perubahan iklim, yang hingga kini masih jauh di bawah kebutuhan karena tingkat pengembalian yang rendah.
Filantropi diharapkan dapat melengkapi pendanaan dari sektor swasta dan publik untuk mencegah dampak yang lebih besar, termasuk hilangnya lahan, jiwa, dan aset lainnya akibat bencana terkait iklim. Dan loss and damage fund menjadi penting untuk mendukung komunitas yang tidak dapat menghindari dampak perubahan iklim.
“Dengan adanya dukungan yang kuat dari filantropi, pendanaan iklim diharapkan tidak hanya berfokus pada mitigasi tetapi juga mendukung adaptasi, rehabilitasi, dan pemulihan, tanpa mengganggu keseimbangan komunitas dan ekosistem yang ada,” tambahnya.
Selanjutnya, secara terpisah, Direktur Eksekutif Filantropi Perhimpunan Filantropi Indonesia, Gusman Yahya berharap acara simposium ini dapat menjadi wadah untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik dalam upaya kita mendorong aksi kolektif yang lebih nyata.
Gusman menekankan bahwa aksi kolektif penting sekali menjadi motor penggerak antar pemangku kepentingan untuk saling melengkapi sumber daya masing-masing dan mengakselerasi pencapaian SDGs serta agenda iklim.
“Inisiatif kemitraan multi-pihak tidak harus dilakukan dengan menciptakan inisiatif baru, tapi diharapkan untuk dapat lebih mengoptimalisasi platfrom-platform kerjasama dan jaringan yang sudah ada, dengan lebih menguatkan kordinasi dan tatakelola antar pemangku kepentingan baik pemerintah, pihak swasta, dan filantropi,” jelas Gusman.
Sedangkan bagi Arif Rahmadi Haryono selaku GM Program Dompet Dhuafa, bahwa “kami sebagai lembaga filantropi terus mendorong beragam giat program dalam adaptasi perubahan iklim, mulai pendekatan pelestarian lingkungan secara langsung, pengembangan wilayah ekowisata, pengembangan kantor ramah lingkungan dan juga mengajak beragam elemen masyarakat dalam kesadaran dan partisipasi upaya adaptasi perubahan iklim”.
“Perubahan iklim harus kita sikapi secara serius, bergerak dari beragam lembaga Filantropi menjadi acuan bersama dalam mitigasi perubahan iklim. Perlu ada langkah yang nyata dalam menyikapi perubahan iklim ini”, tukas Arif Rahmadi Haryono.
)**Yuri Pribadi