Uritanet, Jakarta –
Negara – negara di seluruh dunia memperketat regulasi paparan senyawa Bisfenol A (BPA), termasuk Indonesia sudah mewajibkan peringatan label bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat. Meski demikian, pemerintah masih memberikan tenggang waktu (Yakni selama empat tahun, sejak peraturan tersebut diberlakukan tahun ini, red) kepada para produsen air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan BPA untuk mematuhi regulasi tersebut.
Didalam negeri, tekanan yang cukup besar datang, baik dari Asosiasi AMDK (yang ketua sekaligus petinggi perusahaan asing tersebut, sudah puluhan tahun memproduksi galon polikarbonat BPA di Indonesia, red), hingga opini tanpa riset ilmiah dari pakar – pakar yang makin mengaburkan bahaya BPA.
Semua ini membuat regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait BPA (diresmikan tahun ini, red) mendapatkan perlawanan tanpa henti.
Padahal dalam lima tahun terakhir, negara -negara Eropa sudah bertindak lebih jauh ketimbang Indonesia, dalam memperketat penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari.
Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) pun sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA.
Semula pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah.
“Jadi, asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa kami juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada,” jelas Anisyah, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, saat wawancara dialog tentang BPA di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan pengetatan regulasi di Uni Eropa (UE) pada 2011 menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,6 PPM, tetapi pada 2018 justru direvisi dan diperketat jadi semakin rendah di level 0,05 PPM.
Artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk yang diwadahinya, sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari.
Dan menurut EFSA, BPA yang menjadi campuran plastik kemasan atau wadah dapat bermigrasi ke makanan dan minuman, yang meskipun dalam jumlah kecil tapi dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Sementara, Prof. Akhmad Zainal Abidin, seorang pakar polimer dari ITB, dalam diskusi “Fomo Apa-Apa BPA Free” di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, (21/08), menjelaskan bahwa Pelabelan ‘BPA Free? pada botol PET bisa menyesatkan. Bahaya sebenarnya bukan hanya BPA, tetapi juga bahan kimia lain seperti etilen glikol. Label harus lebih spesifik, tukasnya.
Prof. Akhmad Zainal Abidin adalah pakar polimer yang selama ini pandangannya dikenal lunak terhadap bahaya BPA. Dan dia kembali mengkritisi regulasi BPOM tentang pelabelan galon polikarbonat berbahan BPA.
Disamping itu, Prof. Akhmad Zainal Abidin juga “mengecilkan arti” label “BPA Free” pada botol plastik bening dari jenis Polietilena Tereftalat (PET), yang mana justru secara internasional botol plastik bening dari jenis Polietilena Tereftalat (PET) dinilai jauh lebih aman dan lazim digunakan di seluruh dunia.
Bahkan Prof. Akhmad Zainal Abidin menyampaikan kembali kritiknya dengan menyoroti kurangnya transparansi dalam pelabelan produk, dan kebutuhan mendesak akan informasi yang akurat tentang bahan kimia berbahaya. Meski dirinya mengakui adanya potensi bahaya jika kandungan zat berbahaya seperti BPA melebihi ambang batas.
“Ada faktor bahaya? Ya kalau jumlahnya itu gede ya ada, tapi kalau jumlahnya kecil ya aman. Tapi sejauh ini, jumlahnya enggak besar,” jelas Prof. Akhmad Zainal Abidin.
Perlu diketahui, BPOM sudah cukup transparan dengan memutuskan untuk mengeluarkan regulasi terkait pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat. BPOM juga sebelumnya telah mendapatkan data tiga kali hasil pemeriksaan pada fasilitas produksi dalam kurun waktu 2021 – 2022, di mana didapati kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman yakni 0,6 ppm atau dengan kata lain, mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 3,13 persen; 3,45 persen; dan 4,58 persen.
Anehnya terkait, pernyataan Prof. Akhmad Zainal Abidin yang “agak mengecilkan bahaya BPA” kalau dalam jumlah kecil, realitasnya justru menunjukkan sebaliknya.
Jadi, dibandingkan Indonesia yang masih sangat lunak, Uni Eropa bahkan bertindak lebih keras lagi dari sekadar melabeli AMDK galon berbahan BPA.
Sebanyak 27 negara maju yang bergabung dalam UE tegas menyatakan, BPA sudah tidak boleh lagi digunakan mulai akhir tahun 2024. “Setelah periode phase-out, bahan kimia (BPA) tersebut tidak akan lagi diizinkan digunakan dalam produk-produk (kemasan makanan dan minuman) di Uni Eropa,” demikian paparan rilis Uni Eropa yang disiarkan ke media (12/6).
Secara praktis, larangan penggunaan BPA, bahan yang digunakan di dalam makanan kaleng, botol air minum, gelas plastik, dan baki, tetapi dianggap berbahaya untuk sistem kekebalan tubuh oleh EFSA, akan dimulai pada akhir tahun 2024.
)**Nawasanga