Uritanet, Jakarta –
Dihadiri Aidil Usman selaku Komite Senirupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Novelis Fanny Jonathans Poyk, Seniman Sketsa Yusuf Susilo Hartono, dan Bambang Asrini Wijanarko, Kurator Senirupa, serta dimoderatori Amin Kamil, bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (3/1) menghelat Diskusi Kebudayaan ‘Hardi Presiden Pelukis Penyampai Kebenaran’, sekaligus memperingati tujuh harinya Presiden Pelukis Hardi yang wafat 28 Desember 2023 lalu.
Dan selaku moderator diskusi Amin Kamil secara lugas mengungkapkan bahwa semangat perjuangan Hardi bisa menjadi literasi bagi Gerakan Seni Rupa Baru di masa depan Indonesia.
Bahkan tidak itu saja, berdasarkan paparan sejumlah narasumber diskusi, lanjutnya, ternyata Hardi dengan segala keeksentrikan kesenimannya, dia juga seorang aktivis lewat karya karya seninya yang sarat kritik sosial dan politik, juga politikus lantaran kedekatannya dengan sejumlah elite politik di negeri ini. Dan bisa menjadi literasi bagi seniman senirupa Indonesia saat ini. Bagaimana peran seni rupa Indonesia menyikapi pergolakan bangsanya, namun bisa menghidupi kehidupan berkeseniannya.
Seperti yang dipaparkan Aidil Usman selaku Komite Senirupa DKJ bahwa Hardi sebagai Maestro Senirupa Indonesia juga hadir didalam Periode Perlawanan terhadap Rezim saat itu.
Hardi selalu melihat seni yang baik itu Abstrak, Dekoratif. Senirupa juga harus memiliki eksistensinya lewat Gerakan Seni Rupa Baru – nya yang punya implikasi dampak sosial politik. Dan Presiden 2001 Suhardi (Lukisan Foto yang dibuat 1978) menjadi aktualisasi ghirahnya sebagai seniman yang juga peka terhadap perkembangan politik nasional. Dan hal ini jika dikaitkan dengan seniman yang juga peka dengan politik hari ini, nyaris tidak ada, ujar Aidil Usman. Meski pada akhirnya konsistensi berkeseniannya harus berkompromi dengan kenyataan hidupnya. Semoga sikap Hardi bisa diamini dan muncul dalam perspektif lain hari ini bagi Indonesia, tukasnya.
Sementara Fanny Jonathans Poyk, Novelis yang juga puteri dari penulis Gerson Poyk, lebih menyoroti pada kehidupan para seniman dan sastrawan Indonesia di era 70 – 80 an saat berada di Bali. Dimana ternyata para seniman tidak saja bergaul dan berbincang berkisar kesenimannya, namun juga terlibat perbincangan secara intens terhadap situasi dan kondisi keIndonesiaan itu sendiri.
Meski hanya sebagai pendengar yang baik serta pembuat kopi dan teh bagi mereka, Fanny Jonathans Poyk secara ‘day to day’ tetap kerap mengkritisi pemerintah dan juga teman seniman atau sastrawan lainnya.
“Itulah kejujuran pribadi sesungguhnya bagi seniman dan sastrawan yang pada ujungnya menghadirkan karya karya hebatnya dalam berkesenian tersebut. Sosok nyentrik itu hadir lewat identitas para prilaku atau jalan prilaku mereka sendiri, sebagai bagian dari kehidupan seniman dan sastrawan sesungguhnya,” jelas Fanny Jonathans Poyk.
Sedangkan, Yusuf Susilo Hartono selaku seniman sketsa mengakui perkenalannya dengan Hardi dimulai di tahun 86an di Taman Ismail Marzuki dan Graha Bhakti Budaya, dimana menjadi kiblat senirupa Indonesia saat itu.
Tak heran bila Hardi dalam ingatannya adalah sosok yang Keras Kepala, Blakblakan, Over Percaya Diri, Over Confidence dan membawa kebesaran namanya sebagai Presiden 2001. Bahkan dia juga pernah tinggal satu rumah dengan WS Rendra yang banyak menginfluence dirinya, disamping Hardi saat itu juga sebagai pengelola kegiatan di TIM. Hardi membangun jaringannya. Hardi yang membangun kedekatan dengan penguasa, politikus, selebritis. Hardi membangun pasar khususnya sendiri bagi kesenimannya. Dan Hardi bukanlah ancaman perlawanan Orde Baru.
“Survival itulah kata yang tepat. Bisa jadi inspirasi. Artistik Hardi yang kerap dipertanyakan. Hardi juga politisi. Hardi memang lihai. Seniman yang cerdik, intelek, melek ekonomi, melek politik, piawai berdiplomasi dan sebagainya. Hardi menciptakan pasarnya sendiri,” ujar Yusuf Susilo Hartono, yang juga seorang jurnalis ini.
Dan dipenghujung diskusi kebudayaan ini, Bambang Asrini Wijanarko, selaku kurator senirupa, yang juga banyak menulis di sejumlah literasi kebudayaan di sejumlah media ini, melihat kuatnya subyektifitas Hardi, yang Nyentrik, Eksentrik, Kritis pada rezim. Meski kedekatan para penguasa juga dekat.
Tapi yang terpenting hari ini, tukas Bambang Asrini bahwa hari ini kita kehilangan pemimpin, pemimpin yang paham etik. Inilah relasi berkesenian pada kekuasaan yang bisa dipelajari pada Hardi. Karena sesungguhnya pengelola negara adalah pengelola kesenian. Sebuah relasi kesenian dan kekuasan, melahirkan sikap sikap politik dalam berkesenian, melahirkan individu yang peka, akan trauma trauma trauma sosial politik masyarakatnya.
)***Tjoek/ foto ist