Saksi Ahli Prof.Romli Atmasasmita : Suatu Perkara Pidana Setelah Dibuat LP Tidak Bisa Langsung Penyidikan

Uritanet, Jakarta –

Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Firli Baruli (Ketua KPK non aktif) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (14/12) memasuki agenda pemeriksaan saksi dan keterangan Ahli. Dalam persidangan Saksi Ahli Prof.Romli Atmasasmita terungkap bahwa suatu perkara pidana setelah dibuat laporan polisi tidak bisa langsung dilakukan penyidikan, tetapi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu oleh Penyelidik, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Dalam hal tidak dilakukan penyelidikan dan langsung dilakukan penyidikan dalam suatu perkara, tidak dapat dinyatakan sah penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut, karena tidak ada penyelidikan terlebih dahulu oleh Penyelidik, yang berarti belum ditemukan adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, lanjut Saksi Ahli Prof.Romli Atmasasmita.

Apabila dalam proses penyelidikan tidak dilakukan pemeriksaan klarifikasi/ interview terhadap Terlapor, maka penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut, tidak sesuai prosedur yang berlaku, karena tidak ada klarifikasi terkait dengan apa yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor, serta tidak ada ruang dan waktu bagi terlapor maupun saksi, untuk menyangkal tuduhan pelapor atau mengakuinya.

Baca Juga :  Judi Slot Meningkat, Penting Tindakan Tegas Pemerintah

Suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element), kata Saksi Ahli Prof.Romli Atmasasmita.

Unsur mens rea atau unsur actus reus harus dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/ penyidikan. Apabila salah satu unsur mens rea atau unsur actus reus tidak dapat dibuktikan berdasarkan bukti bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/ penyidikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Bukti permulaan yang cukup dalam tahapan dalam penetapan Tersangka sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam hal ini, di dalam tahapan penetapan Tersangka, bukti permulaan yang cukup tersebut benar-benar menunjukkan bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana.

Apabila dalam suatu tindak pidana terbukti hanya ada 1 (satu) alat bukti yang sah dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka tidak dapat dijadikan dasar sebagai penetapan Tersangka.

Baca Juga :  Desak Pemerintah Tegakan UU TPKS Pada Kasus Pencabulan Santriwati di Jombang

Prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka.

Alat bukti dalam menetapkan Tersangka tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Sedangkan dalam penetapan tersangka terhadap FB hanya berdasarkan alat bukti yang memenuhi unsur kuantitatif, tetapi tidak memenuhi unsur kualitatif. Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor.

Keterangan Ahli tersebut yang menegaskan bahwa tidak adanya penyelidikan, tidak adanya mens rea, tidak adanya actus rea, alat bukti yang tidak memenuhi unsur kualitas merupakan kesalahan prosedur dalam menetapkan tersangka, memperkuat dalil pembatalan penetapan Tersangka FB.

)**D.Junod/ tjoek

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *