Uritanet, Jakarta –
Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka kran pengerukan pasir laut setelah 20 tahun di moratorium tentang tujuan awal penerbitan beleid dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersebut. Namun Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan Tujuan dan Pengawasan, sedangkan Wakil Ketua DPD RI Sultan B.Najamidin engingatkan Ancaman Pemanasan Global.
Seperti diketahui, sebelumnya Pemerintah sudah Melarang Total Ekspor Pasir Laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno 28 Februari 2003 disebutkan alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Kini, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut, yang diumumkan 15 Mei 2023 tersebut diterbitkan sebagai upaya terintegrasi yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di laut.
Salah satu yang diatur dalam beleid tersebut adalah memperbolehkan pasir laut diekspor keluar negeri. Hal ini diatur dalam dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Bagi LaNyalla, jika tujuannya untuk mengurangi sedimentasi laut, maka di lapangan harus konsisten sesuai tujuan itu. Jangan ada penyimpangan di lapangan akibat main mata antara kementerian ESDM dan aparat terkait dengan pelaku usaha.
“Karena bunyi PP Nomor 26 Tahun 2023 jelas menyebut tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut. Jadi titik pengerukan hanya di lokasi-lokasi yang memang terjadi sedimentasi laut. Jadi seharusnya prioritas di alur keluar masuk pelabuhan dan jalur docking kapal,” tukasnya di sela kegiatan Sosialisasi Dapil di Surabaya, Jawa Timur (29/5).
Sementara Wakil ketua DPD RI
Sultan B Najamudin mengingatkan adanya fenomena peningkatan permukaan air laut secara konstan akibat pemanasan global. Mengutip hasil riset Kelompok kerja yang mengurusi masalah permukaan laut dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim IPCC memperhitungkan, sejak tahun 1990 permukaan laut meningkat 2 milimeter setiap tahunnya. Namun data satelit menunjukkan, peningkatan yang terjadi adalah 3,2 milimeter per tahun.
“Kita sangat memahami bahwa Pembangunan ekonomi khususnya industri properti sangat membutuhkan material tambang pasir. Namun kami tidak melihat ada urgensi dan kontribusi yang signifikan dari PP ini, kecuali ancaman nyata dan serius terhadap ekosistem laut dan peningkatan intensitas abrasi terhadap masyarakat pesisir”, ujar Sultan (31/05).
Terlebih jelas LaNyalla, disisi lain, dalam beleid tersebut juga dituliskan dengan jelas, bahwa prioritas untuk kapal isap yang berbendera Indonesia. Dan hasil pasirnya diutamakan untuk pendukung pembangunan di dalam negeri. Bukan untuk prioritas ekspor, meskipun dimungkinkan. Tapi prioritas untuk dalam negeri. Sehingga pengawasan dan sanksi atas penyimpangan di lapangan sangat penting.
Dan agar PP tersebut tidak jadi pintu masuk untuk mengekploitasi pasir laut dalam negeri secara membabi-buta. Sekaligus Sultan mendesak Pemerintah untuk meninjau ulang peraturan pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
Sebaiknya, Pemerintah membuat peta kerja sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 26 Tahun 2023 tersebut. Mana yang boleh, mana yang tidak. Apalagi kita menghadapi tren perubahan iklim. Jangan sampai menambah potensi untuk itu dengan rusaknya biota laut, tegas LaNyala lagi.
Selain mendengarkan masukan dari para pegiat lingkungan, seperti Walhi dan lain-lain sebagai bahan masukan yang positif. Sehingga pelaksanaan di lapangan dapat meminimalisir kerusakan lingkungan. Sehingga tetap pada tujuan untuk pengerukan sedimentasi laut.
Bagi Sultan, keputusan pemerintah memberikan izin eksplorasi pasir laut tidak sesuai dengan semangat pengendalian terhadap dampak pemanasan global. Dan setiap target ekonomi dan profit devisa yang diperoleh negara tidak akan mampu membayar setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan pasir laut.
“Sulit untuk tidak mengatakan keputusan pemerintah tersebut sebagai kecerobohan serius di era perubahan iklim. Di mana negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap lingkungan dan menjamin hak hidup masyarakat yang notabene bermukim di wilayah pesisir pantai”, tegas Sultan lebih jauh.
Meskipun, pemerintah akan mensyaratkan sertifikat AMDAL kepada pengusaha penambang pasir. Kami pesimis bahwa aktivitas penambangan pasir laut ini akan sesuai dengan kaidah-kaidah tambang yang berkelanjutan dan tidak menimbulkan resistensi terhadap masyarakat.
“Pemerintah perlu menghitung semua konsekuensi sosial yang akan terjadi. Baik konflik sosial maupun dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan”, tutupnya.
)***Nawasanga