19 Desember, Syafruddin Prawiranegara dan ‘Hari Bela Negara’ Oleh Abdullah Hehamahua

Uritanet, – 19 Desember, 74 tahun lalu, pesawat-pesawat terbang Belanda, menerjunkan tentaranya di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Padahal, Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat sebagai Penengah berada di Kaliurang. Tentara Belanda tanpa menghiraukan eksistensi KTN, melepaskan tembakan beruntun dari pesawat terbang. Belanda akhirnya menguasai Yogyakarta. Soekarno, Hatta, dan beberapa Menteri, ditangkap Belanda. Mereka dibuang ke Bangka.

Panglima Besar, Jenderal Sudirman memutuskan untuk melakukan perang gerilya. Namun, Soekarno dan Hatta, bersikap lain. Olehnya, sebelum ditangkap, keduanya dalam sidang kabinet terbatas, memberi mandat ke Syafruddin Prawiranegara untuk memimpin pemerintahan.

“Saya tidak terima telegram itu,” kata Pak Syaf kepadaku dalam salah satu pertemuan Forum Nasi Bungkus, Dewan Da’wah (1981).
“Lalu mengapa Pak Syaf membentuk PDRI,?” tanyaku penasaran.

Pak Syaf sewaktu menjawab pertanyaanku, menjelaskan, sebagai salah seorang pimpinan Masyumi yang berada di kabinet, bertanggung jawab terhadap eksistensi Indonesia. Pak Syaf, Menteri Kemakmuran yang waktu itu dengan beberapa pejabat negara berada di Bukittingi.

Pak Syaf mengatakan, sehari sebelum penaklukan Yogyakarta, PKI melakukan pemberontakan di Madiun, Pemberontakan tersebut menurut Pak Syaf, dimanfaatkan Belanda untuk mempersulit wujudnya kesepakatan dalam kegiatan diplomasi kedua negara.

Olehnya, menurut pak Syaf, pemerintah Indonesia bertindak tegas. Pemberontakan PKI di Madiun tersebut dapat ditumpas. Sebab, pasukan Divisi Siliwangi yang berada di Surakarta waktu itu dikerahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut.

Pak Syaf menambahkan, Masyumi sebagai partai Islam ideologis tidak membiarkan PKI atau ajarannya berkembang di Indonesia. Apalagi sampai menguasai sistem pemerintahan. Sebab, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas menolak komunisme. Ini karena komunisme tidak mengakui agama. Bahkan, komunisme menganggap agama sebagai candu.

“Itulah sebabnya saya berinisiatif membentuk kabinet,” kata Pak Syaf menjelaskan alasan pembentukan PDRI. Padahal, beliau tidak menerima telegram Soekarno dan Hatta.

Pak Syaf melanjutkan alasan pembentukan PDRI yang masih kuingat, antara lain: Tujuan perjuangan Masyumi adalah terciptanya ajaran dan hukum Islam bagi orang per orang, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara menuju ridha Ilahi.

Fakta di lapangan, lanjutnya, 95 persen penduduk Indonesia waktu itu beragama Islam. Jika presiden dan wakilnya ditangkap, masyarakat dunia akan menganggap, pemerintahan Indonesia sudah tiada. Dampaknya, Belanda akan kembali menjajah.

Konsekwensi logisnya, pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia pun pupus. Berarti, lanjut pak Syaf, Masyumi sukar mencapai tujuannya.

Pak Syaf mengajak Kolonel Hidayat, Panglima tentara dan teritorium Sumatera, mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera, guna mengadakan perundingan. Pak Syaf bersama beberapa tokoh, di perkebunan teh Halaban yang berjarak 15 Km arah selatan kota Payakumbuh, melakukan pertemuan.

 

Hari itu, 22 Desember 1948, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk. Pak Syaf sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri (PM). Beliau didampingi T.M. Hassan sebagai Wakil Presiden. Anggota kabinet lainnya, antara lain: Ir. Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran); Ir. Sitompul (Menteri PU dan Kesehatan); Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan dan Kehakiman); Mr. Moch Rasjid (Menteri Keamanan dan Sosial).

Baca Juga :  Seminar Nasional XI & Healthcare Expo IX ARSSI : Pemerintah Serius Mendorong Seluruh Pemangku Kepentingan Memperkuat Digitalisasi Kesehatan

Kutanyakan Pak Syaf, mengapa tidak menggunakan istilah Presiden. Beliau dengan lugu mengatakan: (a) Saya waktu itu belum tahu ada mandat dari Presiden Sukarno kepadaku untuk membentuk pemerintahan transisi; (b) Saya terdorong oleh rasa keprihatinan sebagai Menteri di mana atasanku ditangkap penjajah Belanda. (c) Saya sebagai Pimpinan Masyumi yang adalah partai politik Islam ideologis, tidak etis untuk memproklamirkan diri sebagai Presiden. Apalagi, waktu itu saya tidak menerima telegram dari presiden yang mengamanatkan diriku membentuk pemerintahan.

Pidato Melalui Radio Rimba Raya. Pak Syaf mengumumkan pemerintahan baru dan menyampaikan tekadnya untuk mencapai tujuan kemerdekaan. Hal tersebut disampaikan melalui Radio Rimba Raya yang disiarkan secara luas. Pak Syaf mengingatkan diriku tentang tujuan kemerdekaan yang berada dalam alinea keempat mukadimah UUD 45.

“Jangan lupa, empat dari sembilan orang perumus Pancasila dan UUD 45 adalah ulama yang merupakan anggota Masyumi,” kata pak Syaf.

Saya kaget ! (Di rumah, kucari dan kupelajari beberapa literatur. Ternyata, empat orang dari Panitia Sembilan yang menyusun dasar negara dan UUD adalah ulama.

Orang pertama, KH Agus Salim, ulama besar waktu itu. Beliau salah seorang anggota Parleman dari Masyumi ketika Wakil Presiden, Mohammad Hatta menganjurkan pembentukan partai politik. Salah satu partai politik itu adalah Masyumi yang dibentuk dalam Kongres Umat Islam, 7 November 1945 di Yogyakarta.

Orang kedua, KH Wahid Hasyim, Wakil Ketua Majelis Syura Masyumi dari unsur Nahdiyin. Personil ketiga, Abdoel Kahar Muzzakir, juga anggota parlemen Masyumi dari unsur Muhammadiyah. Ulama keempat, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, anggota parlemen Masyumi dari unsur Syarikat Islam).

Pidato pak Syaf di Radio Rimba Raya menggelegar, tidak saja dalam negeri, tapi juga dunia internasional. Rakyat Indonesia, khususnya di Sumatera yang mendengar pidato tersebut, bangkit melakukan perlawanan dengan cara masing-masing.

Bahkan, informasi tentang pidato tersebut sampai ke PBB. Jadi, sekalipun tokoh-tokoh PDRI diburu Belanda, tapi pidato Pak Syaf mendorong PBB untuk mendesak negara penjajah tersebut kembali ke meja perundingan. Hasilnya, Indonesia berdaulat pada tanggal 29 Desember 1949, rumusan Konperensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Denhaag, Belanda.

Kutanyakan, mengapa pak Syaf mengembalikan mandat sebagai Ketua PDRI. Padahal, dengan jabatan tersebut, Pak Syaf bisa melakukan banyak hal untuk kepentingan umat dan bangsa. Jawaban Pak Syaf mengejutkan. Pak Syaf bilang, setelah PDRI beroperasi, beliau baru tau, ada mandat dari Presiden terhadap dirinya untuk membentuk pemerintahan transisi.

Baca Juga :  Menpora Dito Ariotedjo : Capaian Atlet Disabilita Indonesia di Paralimpiade 2024 Paris Simbol Kemajuan Pembinaan

Olehnya, setelah mengetahui Soekarno dan Hatta bebas, pak Syaf menganggap tugasnya selesai. Itulah sebabnya, beliau kembalikan mandat ke Soekarno dan Hatta. Pak Syaf secara resmi kembalikan mandat dalam sidang kabinet RI, 13 Juli 1949 di Yogyakarta.

Perilaku pak Syaf tersebut menunjukkan, tokoh-tokoh Masyumi adalah pribadi yang tidak gila jabatan. Mereka melakukan suatu kegiatan karena diperintahkan agama dan negara. Mereka menerima suatu pekerjaan atau jabatan juga karena perintah agama dan negara.

Olehnya, Pak Syaf menolak jabatan jika ia bertentangan dengan perintah agama dan negara. Hal ini ditunjukkan terhadap kebijakan presiden Soekarno yang dinilainya salah. Presiden Soekarno waktu itu menunjuk Pak Syaf menjadi formatur guna membentuk Dewan Nasional sekaligus sebagai pimpinannya. Pak Syaf menolak. Sebab, lembaga Dewan Nasional itu tidak dikenal dalam UUDS 1950 yang berlaku waktu itu. Menurut Pak Syaf, tindakan Presiden Soekarno tersebut, terang-terangan melanggar konstitusi.

Chalid Prawiranegara, anak sulung pak Syaf memberitahuku, penetapan ayahnya sebagai pahlawan nasional bukan atas permintaan keluarga. Sebab, hal tersebut bertentangan dengan budaya dan karakter Masyumi sebagai partai Islam ideologis.

Menurutnya, pak AM Fatwa sebagai anggota DPR-RI memintanya, mengajukan permohonan agar pak Syaf ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pak Chalid menolak. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang melarang memberi jabatan ke orang yang meminta. Akhirnya, Pemerintah Jawa Barat yang mengajukan permohonan ke pemerintah.

Almarhum AM Fatwa, dalam kontek ini mengorganisasikan sejumlah seminar tentang peran PDRI. Sebab, Presiden SBY melalui Keppres menetapkan tanggal 19 Desember 1948 sebagai Hari Bela Negara. AM. Fatwa lalu melakukan seminar di beberapa kota besar. Dimulai dari Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Seminar-seminar yang dilakukan sejak 2009 – 2011 tersebut diakhiri dengan peringatan 100 tahun pak Syaf.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional diberikan ke pak Syaf, tanggal 8 November 2011. Upacara penganugerahan dilakukan Presiden SBY di istana negara.

Dan 19 Desember tanggal di mana ibu kota Yogyakarta dikuasai Belanda. Syafruddin Prawiranegara, salah seorang Pimpinan Masyumi yang ada di kabinet, berinisiatif membentuk pemerintahan sementara. Sebab, kesadaran sebagai Menteri dan pimpinan Masyumi yang mau menyelamatkan pemerintahan dan negara Indonesia dari dijajah kembali, beliau membentuk pemerintahan tersebut. Kemudian tanggal 22 Desember 1948, 74 tahun lalu, dideklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri.

Andaikan pak Syaf tidak berinisiatif membentuk PDRI, 74 tahun lalu, apakah hari ini, Indonesia sebuah negara merdeka.? Apakah tanpa PDRI, Belanda melakukan Komperensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia, 29 Desember 1949.? Apakah tanpa hasil KMB, Moh. Natsir, Ketua Fraksi Partai Masyumi mengajukan Mosi Integral.? Apakah tanpa Mosi Integral tersebut, Indonesia hari ini adalah NKRI.? Siapa yang berhak mengklaim, paling NKRI.? Masyumi, PKI atau koalisinya. ? Semoga kita semua tau diri !!!

(Depok, 19 Desember 2022).

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *