Uritanet, – Sambil menunggu persiapan wukuf di Arafah, saya membaca kiriman file PDF Putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022. Yaitu putusan terkait judicial review atas Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan DPD RI dan Partai Bulan Bintang (PBB). Ada yang menarik jika kita cermat membaca kalimat demi kalimat dalam putusan tersebut.
Di halaman 74, dari putusan sebanyak 77 halaman itu, tertulis salah satu pertimbangan majelis hakim terkait materi gugatan. Dikatakan begini –saya copy paste sesuai aslinya–.
‘Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi.’
Nah… artinya oligarki itu ada dan nyata. Tetapi menurut MK, tidak ada jaminan mereka akan hilang dengan dihapusnya Pasal 222 itu. Jadi artinya dibiarkan saja seperti ini; oligarki tetap ada dan polarisasi yang merugikan masyarakat tetap ada.
Jadi upaya kita dan puluhan elemen masyarakat lain yang telah mengajukan judicial review atas Pasal 222 dengan semangat untuk meminimalisir kerugian rakyat yang timbul akibat Pasal tersebut, yang ditolak oleh MK, karena bagi MK tidak ada jaminan dengan dihapusnya Pasal 222 itu, lantas kerugian yang dialami rakyat —akibat adanya Oligarki dan Polarisasi—akan hilang.
Jadi dengan kata lain, apakah bisa dibuat dalam kalimat; biar saja kerugian itu terus dirasakan rakyat.
Inilah yang disebut oleh banyak tokoh, termasuk Yusril Ihza Mahendra dalam tulisan terbarunya, bahwa MK bukan lagi menjadi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy.
Saya hanya mengingatkan kita semua. Terbentuknya negara ini memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Dimana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.
Hingga pada ujungnya adalah terciptanya tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah Konstitusi dan Undang-Undang sebagai petunjuk dan pengikat bagi aparatur negara. Sekaligus sebagai pengikat semua elemen bangsa. Undang-undang dibuat oleh pembentuk: DPR dan Pemerintah. Nah, persoalannya, kita sebut apakah apabila ada Undang-Undang yang dibentuk, dan nyata-nyata menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan masyarakat banyak, serta melenceng dari tujuan lahirnya negara ini?
Inilah kejahatan kepada rakyat yang sesungguhnya. Inilah kejahatan kepada pemilik kedaulatan yang sah di negara ini. Inilah kejahatan yang dibiarkan tetap ada, karena dianggap upaya untuk mereview UU tersebut bukan jaminan kejahatan yang merugikan rakyat itu hilang. Waraskah kita sebagai bangsa?
Mina, 8 Juli 2022
)**Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, Ketua DPD RI