Uritanet, – Jika Indonesia dihadapkan pada pilihan dalam mengelola kekayaan negara. Pilih sistem ekonomi yang memperkaya negara dan rakyat atau sistem ekonomi yang memperkaya oligarki pengusaha yang juga penguasa. Bangsa Indonesia tinggal pilih.
“Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden. Tetapi setelah itu, semua kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka,” kata LaNyalla, dalam pidato di Inspirasi Ramadan 1443 H Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dengan tema ‘Sistem Ketatanegaraan Dalam Aspek Sosial’ (13/4).
Dan pilihan kedua itulah yang terjadi di Indonesia, terutama sejak Amandemen konstitusi 2002 yang menghasilkan sistem pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Sehingga lahirlah bandar-bandar atau cukong pemberi biaya Pilpres dan Pilkada. Akibatnya, Sumber Daya Alam negara ini kita berikan kepada mereka dengan skema hak Kelola Tambang dan hak Konsesi Lahan, tegas LaNyalla.
Dan negara hanya mendapat uang royalti dan bea pajak ekspor ketika mereka menjual mineral dan hasil bumi ke luar negeri.
Menurut catatan Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, hasil produksi batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi Rp2.299 triliun. Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas.
Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai Rp950 triliun, maka jika dibagi dua dengan negara, pemerintah bisa menggratiskan biaya pendidikan dan memberi gaji guru honorer yang layak. Mungkin masih ada sisa dana untuk menggratiskan minyak goreng untuk masyarakat kurang mampu. Itu baru dari dua komoditi, batubara dan sawit.
“Bagaimana yang lain?!” tanya LaNyalla.
Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu mengatakan, Indonesia merupakan produsen tembaga ke-9 terbesar di dunia, urutan pertama produsen nikel terbesar di dunia, urutan ke-13 produsen bauksit di dunia, urutan ke-2 produksi timah di dunia. Lalu, Indonesia juga urutan ke-6 produksi emas di dunia, urutan ke-16 produksi perak di dunia, urutan ke-11 produksi gas alam di dunia dan urutan ke-4 produsen batubara di dunia.
“Indonesia juga merupakan urutan pertama dan terbesar di dunia untuk produksi CPO sawit. Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia, urutan ke-22 penghasil minyak di dunia, urutan ke-2 produsen kayu di dunia dan lain sebagainya,” papar LaNyalla.
Dan, kata dia lagi, Indonesia masih memiliki cadangan besar yang meliputi gas Alam, batubara, tembaga, emas, timah, bauksit, nikel, timber dan minyak, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang besar.
Namun, dana yang masuk ke negara dari royalti dan bea ekspor dari sektor mineral dan batubara sejak tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, setiap tahunnya tidak pernah mencapai Rp50 triliun.
Hanya di tahun 2021 kemarin, saat harga batubara dan sejumlah komoditi mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus Rp75 triliun.
“Itu adalah angka yang disumbang dari SDA mineral dan batubara. Artinya angka itu sudah termasuk emas, perak, nikel, tembaga dan lain-lain. Padahal hasil produksi batubara nasional saja mencapai Rp2.299 triliun,” papar LaNyalla.
Menurutnya, sekarang tergantung apakah pemimpin bangsa mau memelihara dan dipelihara oleh oligarki, sehingga tinggal duduk manis dapat saham dan setoran. Atau memikirkan saat dia dilantik dan membaca sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Allah.
“Kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi. Bahwa sistem ekonomi Pancasila yang disusun sebagai usaha bersama untuk kemakmuran rakyat, yang sudah kita tinggalkan itu, mutlak dan wajib untuk kita kembalikan. Tanpa itu, negeri ini hanya akan
dikuasai oleh oligarki yang rakus menumpuk kekayaan, dan rakyat akan tetap kere,” demikian LaNyalla.
)**Nawasanga/ BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA