Guru Besar UI Seno Adji: Tindakan Dr. Terawan Dibenarkan Secara Etik dan Hukum

Uritanet,- Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto  belakangan ini menjadi perbincangan publik. Dia dipecat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akibat metode ‘cuci otak’ yang digunakannya. Guru Besar Hukum Pidana dan Pengajar PPS UI Bid Studi Ilmu Hukum, Indriyanto Seno Adji  mengatakan, pemecatan Terawan sudah menjadi ranah publik dan menjadi perhatian masyarakat,tidak saja bagi masyarakat yang menjadi presentasi komunitas medikal,tapi juga masyarakat lokal non medikal dan komunitas praktisi.

“Salah satu alasan utama dan polemik pemecatan Terawan ini terkait dengan tindakannya dengan implementasi metode Digital Subtraction Angiography (DSA) yang digagas oleh Terawan,”ujar Seno dalam keterangan tertulisnya (02/04) di Jakarta.

Dia memahami etik profesi itu tidak bisa artikan sempit. Norma etik dan hukum memiliki makna yang tidak saja ekstensif,bahkan ekssesif. Etik sebagai nilai dasar berisi prinsip-prinsip moral dalam hati sanubari insan individu maupun individu sebagai bagian organisasi yang sepatutnya diaplikasikan secara konsisten.

“Norma etik yang dimaknai secara sempit, akan menimbulkan dampak yang eksessif dan subyektif,”ujarnya.

Baca Juga :  Puspom TNI Serahkan 2 Mobil Berplat TNI Palsu ke Propam Polda Metro Jaya

Kata Seno, norma-norma etik tidak bisa dimaknai secara sempit,karena seringkali juga norma etik dimaknai sebagai norma hukum,sehingga implementasi makna norma etik harus dilakukan secara prudent atau bijaksana dan hati-hati. Tidak bisa dimaknai secara sempit sesuai normatif regulitas dengan alasan kepastian hukum dan etik.

“Sistim hukum dan etik,tidak saja mengakui kepastian hukum-etik,tapi juga menegakkan prinsip dan asas keadilan pula asas kemanfaatan,”ujarnya.

Dia melanjutkan, norma etik dan hukum harus memiliki tujuan obyektif yaitu selain kepentingan penegakan perlindungan individu,juga menghargai penegakan protection of public interest. Apabila terjadi pelanggaran etik terhadap aturan internal, seperti halnya MKEK, sanksi tertingginya berupa “pengucilan” anggota profesi dari komunitasnya. Sanksi administratif tertinggi pemecatan sebagai anggota profesi dari komunitasnya, ulasnya.

Sedangkan terkait keputusan pencabutan izin praktik dokter, sesuai UU No.29/2004 tentang Praktek Kedokteran, lebih tepat menjadi ranah MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia), bukan MKEK.

“Dalam pemahaman saya, Terawan tetap dapat berpraktik menjalankan profesinya. Inilah yang kadang-kadang tidak dipahami oleh komunitas etik dan hukum,”ujarnya.

Baca Juga :  Minta Kemendagri Kaji Ulang Keputusan Pulau Mangkir Besar, Pulang Mangkir Kecil, Lipan dan Pulau Panjan Empat Jadi Milik Sumatera Utara

Lebih lanjut dia mengatakan,polemik pemecatan Terawan salah satu alasan utama pemberhentian ini terkait dengan metode Digital Subtraction Angiography (DSA) yang digagas oleh Terawan.

“Seharusnya MKEK mengkaji secara bijaksana,tidak emosional dan subyektif. Coba,sebagai komparasi interpretatif etik dan relasinya dengan hukum. Andaikata terbukti tindakan Terawan terhadap implementasi DSA,” ungkapnya.

Sebagai polemik dianosis ataupun terapis adalah melanggar regulasi etik formil,tetapi tindakan Terawan dibenarkan karena secara materiele tidak atau hilang sifat melawan hukum -hilang sifat pelanggaran etiknya- dengan fungsi negatif atau dikenal dengan tindakannya Materiele Niet- Wederrechtelijkheid dengan fungsi negatif.

“Karena tindakannya memiliki kemanfaatan adequate yang besar bagi masyarakat dan Negara,adanya kepentingan umum yang terlayani sesuai prinsip Protection of Public Interest dan pelaku tidak menguntungkan diri sendiri,”bebernya.

Sehingga tidak ada suatu harapan bagi penghukuman etik maupun hukum . Tindakan Terawan dapat dibenarkan secara etik dan hukum.

“Tindakannya masih dalam batas-batas etik-hukum. Tindakan dan perbuatannya dikategorikan sebagai perbuatan yang benar,wajar dan patut,”pungkasnya.

)**Sigit

 

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *