IVERMECTIN Bukan Obat Covid-19, Tapi Obat Cacing

ivermectin digunakan sebagai obat cacingivermectin digunakan sebagai obat cacing

URITANET,- Pengamat Kesehatan Julian Afferino membeberkan fakta bahwa Ivermectin, justru berefek samping bisa merusak Susunan Saraf Pusat (SSP). Seperti diketahui, di Indonesia Ivermectin diberi ijin edar sebagai anti parasit atau dikenal sebagai obat cacing, dan belum ada ijin untuk penggunaan anti Covid-19, belum ada uji klinik nya.

“Jadi rencana Menteri BUMN Erick Thohir untuk memproduksi Ivermectin guna terapi Covid-19 harus dipikirkan ulang,’’ ungkap apoteker lulusan Fakultas Farmasi UGM tersebut.

Sebelumnya, Menteri BUMN, Erick Thohir melontarkan rencana untuk memproduksi Ivermectin guna terapi Covid-19. Namun justru di tentang keras berbagai pihak lantaran epidemiolog UI, Pandu Riono yang menyebutnya Erick Thohir Berbohong terkait telah dikantonginya ijin BPOM untuk Ivermectin.

[irp posts=”176″ name=”Waspadai Penyebaran Varian Baru COVID-19″]

Apalagi hingga saat ini belum ada rekomendasi yang dikeluarkan WHO mengenai penggunaan Ivermectin untuk Covid-19. Begitu pula dengan negara-negara maju lainnya di dunia, lanjut Julian.

Pengamat-Kesehatan-Julian-Afferino-membeberkan-fakta-bahwa-Ivermectin-justeru-berefek-samping-bisa-merusak-Susunan-Saraf-Pusat
Pengamat Kesehatan Julian Afferino membeberkan fakta bahwa Ivermectin, justru berefek samping bisa merusak Susunan Saraf Pusat

“Kebanyakan yang menggunakan Ivermectin adalah masyarakat negara-negara berkembang (Development Country) seperti Peru dan Bolivia , yang dalam kepanikan dan desakan masyarakat melalui medsos mencoba menggunakan apa saja untuk mengobati Covid-19”, papar CEO Pharmacare Consulting tersebut.

Sedangkan di Afrika Selatan, otoritas setempat South African Health Product Regulatory Authority (SAHPRA) dan para ahli terkemuka di negara itu mengingatkan untuk tidak menggunakan ivermectin untuk mengobati Covid-19.

Begitu pula India yang sempat mengeluarkan Emergency Use Authorisation (EUA) atau ijin pemakaian darurat, yang kemudian mengeluarkan ivermectin dari regimen obat Covid-19.

Julian meyakini bahwa BPOM memberikan ijin edar Ivermectin sebagai anti parasite/cacingan (strongyloidiasis dan onchocerciasis) dengan dosis tunggal 12 mg untuk pemakaian sekali dalam setahun, dan bukan sebagai obat Covid-19.

Bahkan adanya ‘warning’ dari pengawas obat dan makanan di seluruh dunia, untuk tidak menggunakan Ivermectin dalam kasus Covid-19 sebelum ada uji klinis.

[irp posts=”261″ name=”Orang Tua Wajib Lengkapi Imunisasi Dasar Anak Meski Pandemi COVID-19″]

Julian pun mengingatkan kembali maraknya penggunaan klorokuin di awal pandemi, yang kemudian ternyata terbukti tidak mampu mengatasi Covid-19 malah justeru berpotensi menimbulkan banyak efek samping yang berbahaya.

Ivermectin pun memberikan efek berbahayabila digunakan tanpa dasar ilmiah yang kuat. Karena dosis Ivermectin yang disarankan adalah 200 ug/kg berat badan, sehingga kaplet Ivermectin di pasaran dengan dosis 12 mg adalah dosis untuk mereka yang memiliki berat badan 60 kg.

Maraknya Ivermectin, lanjut Julian diawali dari penelitian di Australia yang melakukan penelitian secara in vitro. Namun penelitian tersebut menggunakan dosis yang besar, sehingga bila dikonversi untuk penggunaan kepada pasien Covid-19 akan terlalu besar dan berbahaya, sulit diterapkan secara in vivo atau pada manusia.

Karena bila Ivermectin diberikan kepada pasien Covid-19 dengan kondisi berat, maka zat tersebut akan masuk ke dalam siklus Glutamate-Gatted Chlorine Channel. Bila terjadi inflamasi berat akibat badai sitokin maka dosis itu sudah cukup untuk mengakibatkan kerusakan SSP/otak. Karena inflamasi hebat dapat menyebabkan kebocoran sawar darah otak (Brain Blood Barrier/BBB) dan berikatan dengan reseptor GABA.

Pada parasit, Ivermectin berikatan dengan reseptor chlorine ion channel sehingga merusak syaraf dan otot parasit, begitulah cara obat ini melumpuhkan cacing.

Jika dalam kondisi inflamasi hebat maka bisa terjadi kebocoran pada Blood Brain Barrier (Sawar Darah Otak) sehingga obat ini akan masuk ke jaringan otak dan berikatan dengan Chlorine ion Channel, maka nasib otak pasien akan sama dengan cacing, yakni syarafnya akan mengalami kerusakan dan kelumpuhan.

Bila terjadi kerusakan otak/SSP pasien akan mengalami gejala seperti stroke, kelumpuhan anggota gerak badan. Bila penderita stroke masih mampu berpikir, maka tidak begitu dengan mereka yang mengalami kerusakan SSP. Kerusakan ini juga akan menetap atau permanen. Julian juga mengingatkan, obat ini tidak boleh digunakan pada anak dibawah usia 5 tahun.

Oleh karena itu, sebelum menggunakan obat ini sebagai obat Covid-19 maka perlu dilakukan serangkaian uji klinik, agar diketahui berbagai efek samping lain yang mungkin timbul. Perlu diketahui pula bahwa mengurus ijin penggunaan obat, tidak bisa disamakan dengan mengurus ijin UKM.

“Rangkaian panjang uji klinis harus dilakukan, karena ini menyangkut nyawa manusia,’’ tegasnya.

Dalam pernyataannya, BPOM menyampaikan, ijin edar yang diberikan BPOM adalah Invermectin sebagai obat cacing. Ivermectin kaplet 12 mg yang terdaftar di Indonesia digunakan untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis).

Ivermectin diberikan dalam dosis tunggal 150-200 mcg/kg Berat Badan dengan pemakaian 1 (satu) tahun sekali. Ivermectin termasuk jenis obat keras, sehingga pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter.

[irp posts=”1386″ name=”Terawan: Vaksin Nusantara Aman Bisa Lawan Mutasi Virus Corona”]

Penggunaan secara bebas tanpa pengawasan dokter akan memberi efek samping yang beragam seperti nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson.

Sementara itu saja, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI “baru berencana” mengadakan riset penggunaan obat ini untuk Covid-19 setelah adanya desakan publik. Dan BPOM telah menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas penjualan Ivermectin tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *