Perjuangkan Nasib Buruh

agus harimukti yudhoyono

URITANET,- 

Momentum Hari Buruh Nasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei seringkali menjadi ruang unjuk ekspresi untuk menyuarakan agenda perjuangan kaum pekerja nasional. Tentu belum lekang dari memori kita, tepatnya di awal Oktober 2020 lalu, kaum pekerja dan buruh nasional yang didukung oleh gerakan mahasiswa, bergerak secara masif mengungkapkan kemarahan dan kekecewaannya dalam merespons pengesahan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Saat itu, kita bisa memahami dilema yang terjadi. Di satu sisi, kita berharap masyarakat menghindari kerumunan, sesuai protokol kesehatan pandemi Covid-19. Namun di sisi lain, kita juga sangat memahami ketika para buruh dan kaum pekerja merasa terpanggil untuk berikhtiar ikut mempertahankan dan membela hak-haknya, yang terkandung dalam UU Ciptaker itu.

Pada momentum tersebut, saya juga menerima banyak pesan langsung dari elemen pekerja, masyarakat, hingga korporasi, yang menyampaikan kepedulian mendalam terhadap perjuangan kaum buruh kita. Partai Demokrat sendiri mencoba mencarikan titik temu antara kepentingan dunia usaha dan investasi, dengan kepentingan kaum buruh dan pekerja nasional. Hak-hak kaum pekerja tidak boleh dikorbankan begitu saja.

Karena itu, sejak awal saya sampaikan kepada para Anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI yang mengawal pembahasan UU Ciptaker, bahwa orientasi pembangunan ekonomi harus tetap berlandaskan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (social justice). Karena itu, pasal-pasal terkait aturan ketenagakerjaan, harus bisa mengakomodasi aspirasi para pekerja kita. Jika memang ada perbedaan pendapat, maka ruang ‘dialog Tripartit’ mutlak dilakukan.

Tanpa ruang dialog yang memadai, maka pihak-pihak yang tidak terakomodir kepentingannya akan merasa terdzolimi dan merasa diperlakukan tidak adil. Untuk itu, dengan tetap mempertimbangkan sisi positif dari UU Ciptakerja, maka dialog Tripartit antara pemerintah, pengusaha dan pekerja harus dijalankan. Dalam konteks ini, pemerintah harus hadir sebagai fasilitator yang adil, untuk mengelola harapan dan menyeimbangkan kepentingan antara kalangan pengusaha dan kaum pekerja nasional.

Baca Juga :  Kemenko PMK Gelar Rakor Regional untuk Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Papua dan Maluku

Saya yakin, kita semua, termasuk kaum buruh dan pekerja nasional kita, tentu mendukung upaya penataan sistem birokrasi dan efektivitas tata kelola pemerintahan, yang berimplikasi pada desain pembangunan ekonomi nasional. Investasi juga penting untuk menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja (job creation) di tanah air.

Namun, arah pembangunan ekonomi yang kita tuju bukanlah ekonomi yang berwatak kapitalistik dan neo-liberalistik; berorientasi pada akumulasi kekuatan modal dan mengeksploitasi kaum buruh. Bukan pula kita berorientasi pada ekonomi sosialis; mengedepankan kepentingan proletar dan menyulitkan kepentingan dunia usaha.

Bukankah kita semua telah bersepakat, bahwa desain pembangunan ekonomi kita harus senantiasa didasarkan pada konsep Ekonomi Pancasila, yang berlandaskan pada prinsip ‘Ekonomi Pasar Berkeadilan’. Konsep ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan tetap berlandaskan pada prinsip keadilan sosial (sustainable growth with equity).

Prinsip inilah yang jelas-jelas termaktub dalam konstitusi negara, tepatnya Bab 14 Pasal 33 UUD 1945, yang tidak boleh kita abaikan begitu saja. Untuk itu, jangan abaikan suara rakyat. Kaum buruh, juga bagian dari anak bangsa, yang ingin berkontribusi pada agenda pembangunan ekonomi nasional Indonesia.

Saat ini, para pekerja nasional telah menggantungkan harapan mereka kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memutuskan hasil judicial review terkait uji materiil dan formil atas UU Cipta Kerja ini. Tentu semua pihak berharap agar MK dapat menjalankan tugasnya secara imparsial. Integritas dan kredibilitas MK akan menjadi harapan bagi semua pihak yang mengharapkan keadilan tegak di negeri ini.

Baca Juga :  Kegagalan Otsus Disebutkan Menkopolhukam, Autokritik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Namun, terlepas dari proses yudisial yang tengah berjalan di MK, negara juga tetap perlu mensosialisasikan produk UU Cipta Kerja secara intensif, dengan mengklarifikasi dan meluruskan setiap kontroversi dari pasal-pasal yang dinilai mengancam sektor ketenagakerjaan, termasuk juga sektor lingkungan hidup, perpajakan, penanaman modal, pertanahan, dan lainnya.

Klarifikasi atau tabayyun ini penting untuk menetralisir kecurigaan-kecurigaan yang tidak pada tempatnya. Karena itu, setiap kebijakan publik harus dikomunikasikan dengan baik, dengan kepala dingin, transparan dan penuh kehati-hatian. Selain menjelaskan kepada rakyat, pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif, juga harus bersedia mendengarkan suara rakyat, baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya.

Mari dengarkan suara rakyat. Jangan abaikan suara mereka, yang sejatinya adalah penguasa negeri ini. Jelaskan dengan baik, dengan tulus, dengan sabar, dan penuh kejujuran. Insyallah, rakyat, utamanya kaum buruh dan pekerja nasional, akan mendengarkan penjelasan para pemimpin dan wakil-wakilnya.

Proses dialog itu penting agar produk legislasi kita semakin kredibel, legitimate, dan diterima oleh semua pihak, sesuai dengan semangatnya: menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ke depan, kaum buruh akan terus mengawal dan berkontribusi pada proses pertumbuhan ekonomi nasional kita. Sudah selayaknya kita pikirkan secara matang atas pemenuhan hak-hak ketenagakerjaan mereka. Karena itu, upaya menyeimbangkan kepentingan pembangunan ekonomi negara dan pemenuhan hak-hak pekerja merupakan agenda politik yang luhur, yang akan menjadi legacy yang baik bagi pemerintah dan juga seluruh stakholders negara, termasuk kita semua sebagai anak bangsa. Selamat Hari Buruh Nasional!

(**Oleh Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat

 

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *