Jakarta (Uritanet) :
Dalam upaya konkret pelestarian satwa liar Indonesia, khususnya orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), Belantara Foundation bekerja sama dengan PT Agincourt Resources, Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana dan LPPM Universitas Pakuan, menyelenggarakan Belantara Learning Series Episode 13 (BLS Eps.13) dengan tajuk “Peluang Koeksistensi dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli”.
Acara yang digelar secara hybrid, luring di Auditorium Pascasarjana Universitas Pakuan, Bogor, dan daring melalui Zoom serta live streaming YouTube Belantara Foundation, sukses menyedot perhatian lebih dari 780 peserta dari berbagai kalangan.
Tak hanya itu, kegiatan ini turut menggandeng 6 universitas kolaborator dalam program “Nonton dan Belajar Bareng”, yakni Universitas Pakuan, Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Nusa Bangsa, dan Universitas Tanjungpura.
Kolaborasi lintas kampus ini menjadi bukti bahwa pelestarian alam butuh peran aktif dari dunia akademik untuk menjembatani ilmu dan aksi nyata.
Dalam keynote speech-nya, Nunu Anugrah, S.Si., M.Sc., Direktur Konservasi dan Genetik Kementerian LHK, mengingatkan bahwa orangutan tapanuli berada dalam ancaman serius akibat fragmentasi habitat, perburuan, hingga rendahnya kesadaran publik.
“Pemerintah telah mengatur perlindungan orangutan tapanuli secara hukum melalui Permen LHK No. P106/ MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/12/2018, dan mendorong inisiatif restorasi habitat, edukasi publik, hingga rehabilitasi satwa,” tegas Nunu.

Mengenal Spesies Unik: Orangutan Tapanuli
Menurut Dr. Wanda Kuswanda, M.Sc. dari BRIN, orangutan tapanuli merupakan spesies orangutan paling langka di dunia, hanya hidup di kawasan Hutan Batangtoru, Sumatera Utara, dengan estimasi populasi 577–760 individu. Isolasi geografis, tekanan manusia, serta minimnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan utama konservasi.
“Koeksistensi bisa tercapai jika kita mengedepankan prinsip dasar: keselamatan manusia dan orangutan. Edukasi dan mitigasi konflik menjadi langkah wajib dalam konservasi yang adil,” jelas Wanda.
C2C: Dari Konflik Menuju Koeksistensi
Konsep menarik dikemukakan oleh Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation sekaligus pengajar di Universitas Pakuan. Dolly memperkenalkan pendekatan C2C (Conflict to Coexistence), sebuah metode progresif dalam mengubah konflik menjadi solusi hidup berdampingan.
C2C bertumpu pada empat fondasi utama: Pertama Menumbuhkan toleransi, Kedua Berbagi tanggung jawab, Ketiga Membangun ketahanan masyarakat, dan Keempat Menjaga kelestarian habitat.
“Konflik dengan satwa tak selalu harus dihindari—tetapi diubah menjadi peluang kolaboratif. Koeksistensi adalah masa depan konservasi,” papar Dolly.
Sanny Tjan, Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, menyebutkan bahwa pelestarian keanekaragaman hayati hanya akan berhasil jika semua pihak berkomitmen aktif dalam model pentahelix: Akademisi, Dunia Usaha, Komunitas, Pemerintah, dan Media.
“Melalui sinergi yang solid, kita tak hanya melindungi orangutan tapanuli—tetapi juga mewariskan keanekaragaman hayati kepada generasi mendatang,” ujar Sanny.

Dimulai dari Masyarakat, Didorong oleh Pengetahuan Lokal
Sundjaya, M.Si., antropolog Universitas Indonesia, mengangkat pentingnya pendekatan etnografi untuk memahami hubungan masyarakat lokal dengan orangutan. Menurutnya, pendekatan sosial-budaya berbasis komunitas adalah pondasi strategis konservasi jangka panjang.
Seminar nasional ini juga menghadirkan tokoh-tokoh konservasi nasional, seperti: Dr. Sri Suci Utami Atmoko (Universitas Nasional), Onrizal, Ph.D. (Universitas Sumatera Utara), dan Edy Hendras Wahyono (Orangutan Foundation International). Acara dipandu oleh Sardi Duryatmo, mantan Pemred Majalah Trubus.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Sri Setyaningsih, M.Si., Dekan Pascasarjana Universitas Pakuan, menyampaikan apresiasi dan harapan. “Semoga seminar ini menjadi titik balik dan pijakan nyata untuk membangun ekosistem koeksistensi yang berkelanjutan di Indonesia,” pungkasnya.

Koeksistensi Bukan Hanya Narasi, Tapi Aksi
Belantara Learning Series Episode 13 bukan hanya seminar biasa. Ini adalah gerakan bersama, kolaborasi cerdas yang melibatkan banyak pihak untuk menjawab tantangan zaman: bagaimana manusia dan satwa bisa hidup berdampingan secara harmonis?
Melalui ilmu, pendekatan sosial, dan komitmen lintas sektor, konflik bisa diredam, dan masa depan bisa dijaga.
Mari bergerak, berpikir strategis, dan bertindak taktis. Karena konservasi tak akan berhasil tanpa koeksistensi.
Di tengah derasnya perubahan zaman, suara alam semakin sayup terdengar. Tapi hari ini, kita buktikan bahwa suara itu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk didengar, dipahami, dan dijaga. Karena ketika manusia memilih untuk berdampingan, maka alam akan memberikan yang terbaik.
)*** Tjoek / Foto Istimewa

