Haji Uma Soroti RUU BUMD, Tegaskan Perlindungan Otonomi Daerah dan Kekhususan Aceh

Bagikan ke orang lain :

Jakarta (Uritanet) :

Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) asal Aceh, H. Sudirman Haji Uma, mengingatkan pemerintah agar Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Daerah (RUU BUMD) tidak menjadi celah baru bagi sentralisasi kewenangan pusat yang justru mengikis semangat otonomi daerah.

Dalam pernyataan sikap yang disampaikan di Jakarta, Minggu (10/8/2025), Haji Uma menilai substansi RUU BUMD yang tengah dibahas masih memunculkan potensi kontrol berlebihan pemerintah pusat terhadap BUMD.

“Dari wacana substansi yang mencuat, RUU BUMD berpotensi membuka celah kontrol lebih luas oleh pemerintah pusat terhadap perusahaan milik daerah. Pemerintah perlu diingatkan agar regulasi tersebut tidak menjadi pintu masuk bagi sentralisasi kewenangan,” tegasnya.

Setuju Penguatan Tata Kelola, Tolak Dominasi Pusat

Haji Uma mengakui bahwa banyak BUMD bermasalah dalam tata kelola, bahkan ada yang dalam kondisi “sakit” sehingga memerlukan regulasi tegas dan mengikat. Namun, ia menekankan, peran pemerintah pusat—terutama melalui Kemendagri—harus diatur secara detail agar tidak melemahkan daerah dengan membuat keputusan strategis bergantung sepenuhnya pada pusat.

Menurutnya, standar keputusan yang seragam di seluruh daerah justru berpotensi menimbulkan konflik norma, karena setiap daerah memiliki kondisi, tantangan, dan kebutuhan yang berbeda.

Secara khusus, Haji Uma menyoroti kekhususan Aceh yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang bersifat lex specialis. Ia meminta agar RUU BUMD memuat klausul pengecualian atau harmonisasi agar tidak bertentangan dengan kewenangan Aceh yang sudah diatur melalui qanun.

Ia merujuk Pasal 166–172 UU-PA yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Aceh dalam pengelolaan dan pembinaan BUMD, serta Pasal 269 UU-PA yang menegaskan bahwa aturan umum tidak boleh bertentangan dengan UU-PA.

“RUU BUMD harus memuat klausul pengecualian atau harmonisasi bagi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Ini penting agar tidak menabrak kewenangan yang sudah diatur,” ujar Haji Uma.

Otonomi Daerah adalah Martabat dan Masa Depan

Menutup pernyataannya, Haji Uma menegaskan bahwa isu ini bukan hanya soal hukum, tapi juga menyangkut martabat, masa depan ekonomi daerah, dan kemandirian Aceh. Ia mengingatkan bahwa Aceh memiliki sejarah panjang kemandirian ekonomi yang berpijak pada nilai syariah dan adat, sehingga perannya tidak boleh dikebiri oleh kebijakan yang sentralistik.

“Otonomi bukan sekadar konsep administratif. Ia adalah hak, martabat, dan pondasi masa depan ekonomi daerah,” pungkasnya.

Otonomi daerah bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang. Menjaganya berarti menjaga masa depan daerah, ekonomi, dan identitas yang telah menjadi denyut nadi masyarakatnya.

)*** Tjoek / Foto Istimewa

Bagikan ke orang lain :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *