Jakarta (Uritanet) :
Langit ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/8/2025), seolah memantulkan gemuruh perasaan ketika nama Fariz Rustam Munaf, atau yang lebih dikenal dengan Fariz RM, disebut dalam tuntutan enam tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Musisi legendaris yang dikenal dengan lagu abadi Sakura itu, kini dihadapkan pada ujian terberat dalam hidupnya—bukan soal nada, melainkan pasal.
Jaksa Indah Puspitarani memulai pembacaan tuntutan dengan menyampaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dihindari dalam proses hukum: hal yang memberatkan dan hal yang meringankan.

Di satu sisi, Fariz dianggap tak mendukung upaya pemerintah memberantas narkotika, dan pernah dihukum sebelumnya. Namun di sisi lain, sikapnya yang kooperatif dan tidak mempersulit persidangan, menjadi nilai positif.
“Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan satu bukan tanaman,” tegas jaksa.
Fariz RM dituntut berdasarkan Pasal 112 ayat 1 dan Pasal 111 ayat 1 huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tak hanya hukuman badan, ia juga dikenai denda sebesar Rp800 juta, subsider 3 bulan kurungan bila tak mampu membayar.

Namun di tengah derasnya tekanan, Fariz tetap memilih untuk tenang.
“Nggak apa-apa, ya kita ikutin aja dulu dalam persidangannya. Saya jalani aja. Saya hormati prosesnya,” ujar Fariz RM, dengan raut wajah pasrah tapi tetap tegar.
Di sisi pembelaan, kuasa hukumnya Deolipa Yumara menekankan bahwa Fariz adalah korban, bukan penjahat. Ia menyatakan akan mengajukan pleidoi atau nota pembelaan pada sidang berikutnya. Harapannya? Rehabilitasi, bukan penjara.
“Mas Fariz adalah pengguna, bukan pengedar. Bahkan dia adalah korban. Rehabilitasi adalah langkah yang paling manusiawi,” tutur Deolipa.
Kasus ini bukan sekadar tentang pasal dan vonis. Ini adalah potret gelap yang menghantui wajah terang dunia seni Indonesia. Fariz RM adalah nama besar. Karyanya telah mengalun di berbagai generasi.
Namun di balik melodi, ada jerit sunyi yang selama ini mungkin tak terdengar. Apakah penjara adalah jawaban satu-satunya? Ataukah kita sedang melewatkan peluang untuk menyembuhkan, bukan menghukum?
Keadilan sejatinya bukan tentang membalas luka dengan luka, tapi tentang mencari jalan pulang bagi mereka yang tersesat.
Fariz RM mungkin terjatuh, tapi bukan berarti ia tak bisa bangkit. Biarlah hukum bicara, namun jangan lupakan suara nurani yang kadang lebih nyaring dari palu sidang.
)*** B.Tjiek Priambodo / Foto Ist

