“Perang Jawa”: Ambisi Layar Lebar Angga Sasongko untuk Mengguncang Dunia Lewat Sejarah Indonesia

Bagikan ke orang lain :

Uritanet – Jakarta, 21 Juli 2025 – Bayangkan sebuah film epik sejarah, bertabur nuansa lokal, namun dibungkus dengan standar sinema kelas dunia—itulah yang ingin dicapai oleh Angga Dwimas Sasongko lewat proyek terbarunya, Perang Jawa. Disampaikan dengan percaya diri oleh sang sutradara dan produser Visinema Pictures, film ini resmi diumumkan bersamaan dengan peringatan 200 tahun meletusnya Perang Jawa (1825–1830), salah satu babak paling menentukan dalam perjuangan anti-kolonial di Nusantara.

Namun jangan buru-buru menyebutnya film biopik. Angga menegaskan: “Ini bukan film tentang sosok, tapi tentang sebuah peristiwa yang membentuk arah sejarah kita. Dan Diponegoro ada di tengah-tengahnya.” Dengan kata lain, Perang Jawa adalah sebuah karya ensemble, yang memotret skala besar perlawanan rakyat—bukan hanya perjalanan pribadi sang pangeran.

Tak tanggung-tanggung, Visinema menggaet Peter Carey, sejarawan kawakan asal Inggris yang telah mendedikasikan lebih dari empat dekade untuk mengkaji Babad Diponegoro. Kolaborasi ini disebut-sebut akan menjadi penentu kedalaman historis film, sembari menjaga kualitas sinematik tetap memikat.

“Tugas kami hingga 2027 adalah menyulap riset masif ini jadi tontonan berkelas—yang tak hanya relevan untuk Indonesia, tapi juga bisa bicara pada dunia,” ujar Angga optimistis.

Salah satu pemantik semangat proyek ini adalah kenyataan bahwa sudah lebih dari tiga dekade Indonesia tak melahirkan film perang berskala epik. Film legendaris Tjoet Nja’ Dhien (1988) menjadi acuan sekaligus tantangan—bahwa film sejarah bisa hidup lebih lama dari zamannya, dan meninggalkan jejak di hati generasi yang belum lahir ketika film itu dirilis.

“Kami ingin menjadikan semangat film seperti Cut Nyak Dien sebagai benchmark. Film yang lahir bukan dari hitungan angka, tapi dari hasrat mencipta dan keinginan meninggalkan warisan,” tegas Angga.

Apakah penonton Indonesia siap? Angga percaya mereka lebih dari siap. Keberhasilan film-film dari berbagai genre belakangan ini—dari animasi Jumbo hingga drama futuristik Sore: Istri dari Masa Depan—membuktikan bahwa publik merindukan karya sinema yang penuh isi dan emosi.

“Kita sedang berada di momentum yang langka. Penonton sudah berubah, pasar siap, teknologi mendukung. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk menyajikan sejarah kita dengan cara yang spektakuler,” tutupnya.

Perang Jawa bukan sekadar film. Ia adalah pernyataan politik budaya, sekaligus bentuk penghormatan terhadap semangat perlawanan—yang 200 tahun lalu berkobar dari balik hutan dan pegunungan, dan kini akan menyala kembali lewat layar lebar.

**Benksu

Bagikan ke orang lain :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *