GKR Hemas Tegaskan Komitmen Lestarikan Budaya Lewat Program Desa Budaya Mandiri dan Festival Tari Ramayana

Bagikan ke orang lain :

Yogyakarta (Uritanet ) :

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, GKR Hemas, kembali menegaskan komitmennya dalam mendukung pelestarian budaya lokal dan penguatan sektor pariwisata berbasis kearifan lokal di Yogyakarta.

Dalam sebuah audiensi penuh makna yang digelar di Kraton Kilen, Senin (21/7), GKR Hemas menyoroti pentingnya program Desa Budaya Mandiri yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi DIY melalui pengembangan Desa Wisata dan Desa Budaya.

“Desa Budaya Mandiri itu harus punya gamelan per kecamatan. Saya sudah bilang ke Dinas Kebudayaan, walaupun mungkin kriteria yang ditetapkan dirasa berat, tapi ini demi keberlangsungan budaya kita,” tutur GKR Hemas penuh semangat, menyampaikan harapannya agar setiap kecamatan mampu menjadi pusat pertumbuhan seni dan tradisi.

Empat kriteria yang harus dipenuhi sebuah desa untuk menjadi Desa Budaya Mandiri adalah.

Pertama ; Adanya kegiatan rutin pagelaran seni budaya,

Kedua ; Menciptakan atau memiliki kekayaan tari khas,

Ketiga ; Melestarikan alat musik tradisional seperti gamelan,

Dan Keempat ; Memiliki sanggar budaya yang terorganisir dan aktif.

Tak hanya sebatas program administratif, GKR Hemas menekankan bahwa penguatan budaya lokal harus hadir dalam bentuk nyata di masyarakat.

Salah satu wujudnya adalah dengan mendorong partisipasi aktif sanggar-sanggar budaya dalam kegiatan seperti Festival Tari Konservasi Ramayana yang digelar oleh Ramayana Ballet Purawisata—sebuah panggung seni yang telah menjadi ikon wisata budaya Yogyakarta.

Dalam audiensi yang sama, Komisaris Utama Mandira Baruga Yogyakarta, Ulla Nuchrawaty, memaparkan perkembangan positif festival yang kini memasuki tahun keempat.

“Awalnya hanya diikuti oleh 8 sanggar, lalu naik menjadi 15, dan tahun lalu mencapai 31 sanggar dari DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” jelasnya.

Namun, ia mengungkapkan keprihatinan atas rendahnya keterlibatan sanggar dari Kota Yogyakarta.

“Tahun ini, justru kota Yogyakarta yang pesertanya paling sedikit, padahal ada puluhan sanggar di sini. Ironisnya, Bantul malah lebih aktif,” imbuh Ulla.

Ramayana Ballet Purawisata sendiri telah menjadi magnet budaya bagi wisatawan mancanegara, dengan 87 persen penontonnya berasal dari luar negeri.

Puncak festival tahun ini dijadwalkan berlangsung pada 10 Agustus 2025, dan menjadi ajang yang tak hanya menampilkan keindahan tari, tapi juga menyuarakan semangat konservasi budaya kepada dunia.

Budaya Bukan Sekadar Warisan, Tapi Energi Masa Depan

Yogyakarta bukan hanya tempat di mana budaya dilahirkan, tapi juga tempat di mana budaya harus terus tumbuh dan berakar di hati masyarakat. GKR Hemas, dengan pendekatan humanis dan keberpihakannya pada komunitas lokal, menunjukkan bahwa pembangunan budaya bukanlah beban, melainkan kehormatan.

Saat panggung-panggung seni kembali ramai, saat gamelan kembali berdentang di sudut-sudut desa, dan saat anak-anak muda kembali menari dengan bangga, di sanalah kebangkitan budaya itu bermula.

Mari kita jaga bersama, karena budaya bukan hanya untuk dikenang—tapi untuk dihidupkan.

Ketika tradisi diberi napas baru lewat kebijakan dan keterlibatan masyarakat, maka budaya tidak hanya hidup, tapi juga menjadi masa depan yang berdaya cipta.

Kini saatnya bersatu, dari desa ke kota, untuk menari bersama dalam semangat yang tak lekang oleh zaman.

)**Tjoek / foto istimewa

Bagikan ke orang lain :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *