Jakarta (Uritanet) :
Di tengah riuhnya pembangunan kota-kota besar Indonesia, satu persoalan klasik terus menghantui: masyarakat kerap menjadi penonton dalam proses perencanaan yang menyangkut hidup mereka sendiri. Padahal, ruang hidup bukan hanya soal beton dan blueprint—tetapi tentang manusia, hak, dan harapan.
Isu ini menggema dalam diskusi bertajuk “Kota, Politik, dan Masa Depan” yang digelar di Jakarta. Forum ini lahir dari kolaborasi tiga elemen penting: FORSA PWK Universitas Brawijaya, Stravenues, dan Urbanist Indonesia. Mereka menyatukan suara untuk mengurai benang kusut relasi antara kekuasaan, kebijakan, dan partisipasi publik dalam pembangunan kota.
Acara ini bukan sekadar forum wacana. Ia menjadi ruang kritis yang menyentuh akar persoalan: Siapa yang seharusnya punya suara dalam menentukan wajah kota?

Dari Warga untuk Kota
Billy David Nerotumilena, Ketua Umum FORSA PWK Universitas Brawijaya, menegaskan bahwa forum ini adalah awal dari gelombang baru: partisipasi aktif warga dalam diskursus kebijakan publik. Ia menyebut, “Ini bukan sekadar diskusi—ini panggilan untuk bergerak bersama.”
Dengan format hybrid, forum ini berhasil menarik lebih dari 50 peserta luring dari kalangan aktivis perkotaan, pegiat transportasi, akademisi, hingga masyarakat umum. Sementara secara daring, lebih dari 150 peserta dari berbagai wilayah Indonesia turut menyimak dan terlibat.
Pradamas Giffary, Co-founder Stravenues, membuka diskusi dengan pernyataan yang menusuk: “Perencanaan kota bukan hanya soal gambar bangunan atau dokumen teknis. Tanpa partisipasi nyata warga, kota kehilangan rohnya.”
Ia menyoroti fakta pahit: partisipasi masyarakat selama ini sering kali hanya simbolis, tanpa ruang untuk mengubah arah kebijakan.
Senada dengan itu, Anies Baswedan, pendiri Karsa City Lab, mengingatkan bahwa kota adalah soal ideologi dan keberpihakan.
“Pemerintah harus mendengar kebutuhan warga, bukan hanya mempromosikan proyek,” tegasnya. Ia menambahkan, narasi perubahan harus dimulai dari pertanyaan paling mendasar: Apa yang harus dilanjutkan? Apa yang harus dihentikan? Apa yang baru harus dicoba?

Kota Butuh Political Will
Marco Kusumawijaya, pendiri Rujak Center For Urban Studies, mengangkat pentingnya political will sebagai energi penggerak kebijakan kota. Namun, kehendak politik ini tak bisa lahir tanpa tekanan dan keterlibatan masyarakat sipil.
“Tubuh-tubuh sosial seperti komunitas, penulis, dan aktivis harus hadir di setiap kota,” katanya.
Sementara itu, Sulfikar Amir, Associate Professor dari NTU Singapore, menegaskan bahwa kota tak bisa lepas dari politik.
“Smart City tidak akan berarti jika rakyat takut bicara. Kota harus layak huni sebelum pintar,” ujarnya tajam.
Ia juga menantang pola pikir pembangunan yang hanya berorientasi pada teknologi dan aplikasi. Tanpa keadilan sosial dan ruang partisipasi, semua itu hanyalah kosmetik kota.

Transportasi Publik: Wajah Nyata Kehadiran Negara
Topik transportasi publik menjadi salah satu contoh konkret kolaborasi kebijakan yang berhasil. Anies memaparkan bagaimana program Jaklingko dibentuk melalui dialog antara pemerintah, operator, dan warga.
Cakupan transportasi umum yang melonjak dari 42 persen ke 90 persen menjadi bukti bahwa keterlibatan publik bukan ilusi—ia bisa jadi solusi.
“Pemerintah tidak boleh merasa tahu segalanya. Justru ia harus bersedia belajar dan mendengar,” tutur Anies.
Ia mengajak semua pihak kembali pada nilai dasar: negara hadir bukan untuk mencari untung, tapi untuk memberi manfaat.
Diskusi ini menyisakan satu pesan kuat: Kota bukan sekadar wilayah administratif atau pasar investasi. Kota adalah tempat kita hidup, tumbuh, dan bermimpi. Karena itu, membicarakan kota harus dimulai dari mendengarkan siapa yang hidup di dalamnya.
Partisipasi publik bukan tambahan—ia adalah fondasi. Tanpa rakyat, kota hanyalah bangunan kosong tanpa jiwa. Dan kini, saatnya rakyat mengambil peran lebih besar dalam menata masa depan kota.
Mari bangun kota bukan hanya dengan beton, tapi dengan suara, hati, dan keberanian untuk berubah.
)*** Tjoek / Foto Istimewa

