Antara DPD RI dan Mosi Integral Natsir: Refleksi 75 Tahun Perjalanan Bangsa

Jakarta (Uritanet) :

Tujuh puluh lima tahun yang lalu, tepat pada 3 April 1950, sebuah pidato penting menggema dari podium Parlemen Indonesia. Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, menyuarakan keresahannya atas arah perjalanan bangsa. Ia menyatakan bahwa Indonesia telah menyimpang dari cita-cita awal kemerdekaan dengan menerima bentuk negara serikat.

Pidato ini, yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, bukan sekadar kritik. Natsir menggugah kesadaran kolektif bangsa akan pentingnya kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia menilai bahwa Indonesia telah mengikuti kemauan Ratu Belanda pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB), bukan kehendak rakyatnya sendiri.

Dalam perundingan KMB, Indonesia “dipaksa” menerima bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai syarat pengakuan kedaulatan. Selain itu, Indonesia juga dibebani kewajiban membayar 4,5 miliar Gulden sebagai ganti rugi atas agresi militer Belanda. Posisi Indonesia saat itu memang lemah di panggung geopolitik internasional. Maka, kita tidak bisa menyalahkan tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Mohammad Roem, dan Soepomo yang berjuang dalam keterbatasan.

Sebagai seorang Muslim, saya melihat peristiwa ini mirip dengan Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 M. Nabi Muhammad SAW menerima perjanjian yang tampaknya merugikan umat Islam demi kemaslahatan jangka panjang. Begitu pula keputusan para pendiri bangsa—itu adalah strategi, bukan kekalahan.

Baca Juga :  107,63 Juta Orang Libur Nataru 2023/ 2024, Pemerintah Siap Hadapi Nataru

Namun, Natsir hadir dengan akal sehat dan keberanian. Ia menegaskan bahwa bentuk negara serikat bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda 1928 yang bersumpah atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Fragmentasi dalam bentuk negara-negara bagian seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera, atau Negara Madura, jelas menciderai semangat persatuan itu.

Hanya dalam beberapa bulan setelah pidato tersebut, Presiden Soekarno merespons. Pada 17 Agustus 1950, Indonesia secara resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini membuktikan bahwa akal sehat dan keberanian intelektual mampu mengubah arah sejarah.

Namun, sejarah selalu berulang dalam bentuk berbeda. Kini, kita menghadapi tantangan baru pasca Amandemen Konstitusi 1999-2002. Dalam proses itu, Indonesia meninggalkan fondasi asli yang dirancang para pendiri bangsa. Amandemen tersebut, sebagaimana ditulis Valina Singka Subekti dalam bukunya Menyusun Konstitusi Transisi (2007), melibatkan campur tangan lembaga asing seperti UNDP, USAID, IFES, dan lainnya.

Siapa yang diuntungkan dari perubahan lebih dari 95% isi UUD 1945 itu, sebagaimana disebutkan almarhum Prof. Kaelan? Jelas bukan rakyat Indonesia. Tetapi aktor-aktor luar yang sejak Bretton Woods 1944 bertekad mempertahankan cengkeraman atas negara-negara berkembang melalui kolonialisme gaya baru.

Baca Juga :  Staf Ahli Kemenpora Bidang lnovasi Kepemudaan dan Keolahragaan Luncurkan Program TALENTA MUDA : Transformasi Pemuda Mewujudkan Indonesia Maju

Di sinilah pentingnya kita kembali ke rumusan bernegara yang asli dan memperkuatnya dengan akal sehat. Salah satu langkah konkret adalah mereformasi peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. DPD RI tidak cukup hanya menjadi lembaga pelengkap. Namun, ia juga tidak harus menjadi seperti senat dalam sistem federal. Saya mengusulkan agar DPD RI bergabung menjadi satu kamar dengan DPR RI, sebagai pembentuk Undang-Undang dari unsur fraksi non-partai.

Dengan begitu, setiap undang-undang yang berlaku secara nasional tidak hanya dibentuk oleh keputusan partai politik, tetapi juga oleh wakil-wakil dari daerah yang merepresentasikan rakyat secara langsung. Inilah hakikat otonomi yang sejati—representasi yang utuh dan adil.

Mosi Integral Natsir adalah pelajaran bahwa keberanian untuk berpikir jernih bisa mengembalikan bangsa pada jalur yang benar. Kini, saatnya kita mengulangi keberanian itu. Demi Indonesia yang kembali kepada jati dirinya. Demi masa depan yang lebih berdaulat dan berkeadilan.

)**Oleh Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Anggota DPD RI/MPR RI dan Ketua DPD RI ke-5

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *