Jakarta (Uritanet) :
Akira Takei mengalami ketidakpuasan hukum setelah asetnya dikuasai pihak ketiga secara ilegal, meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan tetap. Kejadian ini menjadi contoh nyata bagaimana investor asing dapat kehilangan aset mereka akibat lemahnya perlindungan hukum dan ketidaktegasan aparat dalam menegakkan keadilan.
Demikian hal tersebut diungkapkan Ujang Wartono, S.H., M.H., kuasa hukum Akira Takei, seorang pengusaha asal Jepang yang telah berinvestasi di sektor industri kayu.
Ujang mengatakan bahwa kasus ini bukan hanya tentang sengketa bisnis, tetapi juga mencerminkan masalah lebih besar dalam sistem hukum Indonesia. Ketika putusan pengadilan yang sudah inkracht masih dapat dihambat oleh pihak pihak tertentu, akibatnya kepercayaan terhadap sistem hukum pun dipertaruhkan.
Perlu diketahui, kasus sengketa kepemilikan pabrik di Kawasan Industri Jatake, Tangerang, ini menjadi sorotan karena melibatkan dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, serta penguasaan aset yang bertentangan dengan putusan pengadilan.
Dari Investasi ke Sengketa
Kasus berawal pada 1990, saat Akira Takei membeli lahan seluas 4.2 hektar di Kawasan Industri Jatake, Tangerang, untuk mendirikan perusahaan kayu. Ia pun menunjuk beberapa Direktur untuk mengelola operasional perusahaan.
Namun, hanya dalam enam bulan, bisnis tersebut mengalami kegagalan akibat pengelolaan yang buruk. Tidak hanya mengalami kerugian, Akira Takei juga harus menanggung hutang yang dibuat oleh para Direktur tersebut.
“Para direktur itu mengajukan permohonan pinjaman, tapi yang meminjamkan itu sebenarnya Akira Takei sendiri. Dikasihlah modal 90 muliar rupiah. Waktu itu dibelanjakan di Jerman sama di Jepang untuk membeli mesin-mesin produksi. Ternyata tidak jalan juga. Akhirnya terjadi gugat-menggugat,” jelas Ujang Wartono.
Proses hukum kasus ini telah melalui berbagai tahapan, mulai dari putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan hingga banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI.
Pada akhirnya, gugatan yang diajukan Akira Takei terhadap para Direktur, dimenangkan oleh Akira Takei pada tahap kasasi di Mahkamah Agung, sebagaimana tercantum dalam putusan No. 3295 K/PDT 1996.
Dalam putusan tersebut, para direktur diwajibkan mengembalikan aset perusahaan, pabrik dan 4 unit rumah yang kemudian harus dilelang untuk menutupi utang sebesar Rp.31 miliar ditambah bunga sejak 1993.
Namun, ketika proses eksekusi mulai dijalankan, muncul pihak ketiga yang mengaku sebagai pemilik sah pabrik tersebut.
Klaim Kepemilikan Dipertanyakan
Kemudian persoalan lebih besar muncul, ketika seorang pria bernama Cristianto Noviadji Jhohan atau biasa dipanggil Cris, tiba-tiba mengklaim bahwa ia telah membeli pabrik dari Akira Takei.
Namun, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, klaim tersebut tidak terbukti. Cris mengaku membeli dari Akira Takei, padahal tidak. Perjanjian jual beli tidak ada, penerimaan uang juga tidak ada, kuitansi pun tidak ada. Gugatan yang diajukan Cris pun ditolak Pengadilan, sebagaimana tercantum dalam putusan No. 341 Pdt.Plw 2017 PN.Tng, papar Ujang lebih jauh.
Dan situasi semakin rumit ketika pada tahun 2019, Cris menjual pabrik tersebut kepada sebuah perusahaan swasta nasional, Paragon. Padahal, aset tersebut masih berstatus sita eksekusi dan seharusnya tidak dapat dipindahtangankan tanpa melalui prosedur hukum yang sah.
Kerumitan ini terungkap saat dilakukan Konstatering untuk menindaklanjuti surat Penetapan Nomor 03 DEL/2017 PN.TNG Jo Nomor 70 PDT.G 1993 PN.JKT.SEL.
Konstatering, yakni pencatatan atau penetapan fakta oleh pihak berwenang berdasarkan pemeriksaan langsung. Proses ini biasanya dituangkan dalam berita acara atau dokumen resmi setelah kunjungan langsung ke lokasi, dalam hal ini pabrik yang disengketakan.
Proses konstatering dipimpin oleh pengadilan turut disaksikan oleh aparat kepolisian, Koramil, serta perwakilan dari kecamatan dan kelurahan setempat.
Lalu ketika eksekusi hendak dijalankan, pihak Paragon mengklaim telah membeli pabrik tersebut secara sah. Tapi menurut Ujang mereka tidak dapat menunjukkan dokumen kepemilikan yang valid.
Dan yang lebih mencurigakan lagi, atau patut diduga, menurut Ujang, Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB), yang secara hukum seharusnya tidak dapat terjadi tanpa proses yang jelas.
“Masak hak milik kok jadi hak guna bangunan? Ini janggal. Kalau beli, harusnya SHM yang dibeli, bukan HGB,” tegas Ujang Wartono.
Dampak Iklim Investasi
Ujang pun mengingatkan bahwa kasus ini sekaligus mencerminkan permasalahan yang lebih luas dalam dunia investasi di Indonesia. Yakni lemahnya eksekusi putusan pengadilan telah menurunkan kepercayaan investor asing terhadap sistem hukum di Indonesia.
Bagi investor, kepastian hukum adalah faktor utama dalam menentukan apakah suatu negara layak menjadi tujuan investasi atau tidak. Jika hukum tidak dapat ditegakkan dengan baik, maka risiko investasi menjadi lebih tinggi, dan hal ini dapat membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Kalau praktik seperti ini dibiarkan, siapa lagi yang mau berinvestasi di sini? Ini merugikan bukan hanya Akira Takei, tapi juga iklim investasi Indonesia secara keseluruhan,” ujar Ujang.
Ia akan terus memperjuangkan hak-hak kliennya melalui jalur hukum dan berencana untuk mengajukan gugatan kepada sejumlah pihak terkait atas dasar perbuatan melawan hukum, serta melaporkan dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, dan perusakan aset ke pihak kepolisian.
“Saya akan melakukan dua langkah hukum, pidana dan perdata. Kalau pihak pihak terkait kasus ini masih bersikeras seperti sekarang, maka kami akan menempuh jalur hukum,” pungkasnya.
)**Tjoek