Balikpapan (Uritanet) :
Ketua Komite IV DPD RI, H. Ahmad Nawardi, S.Ag, menyoroti bahwa Kalimantan Timur merupakan penyumbang besar PNBP nasional, terutama dari sektor migas, minerba, dan kehutanan. Namun, distribusi penerimaan daerah dinilai belum sebanding dengan potensi yang ada.
“Kami ingin memastikan bahwa daerah penghasil mendapatkan manfaat yang adil dan proporsional dari PNBP,” ujar Ahmad Nawardi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kanwil Kaltim, realisasi PNBP Kalimantan Timur mencapai Rp3,44 triliun atau 156,82% dari target yang ditetapkan hingga Desember 2024. Namun, masih ada tantangan besar dalam transparansi distribusi dan optimalisasi sektor lain di luar pertambangan.
Wakil Gubernur Kalimantan Timur menegaskan bahwa target PNBP 2025 tidak akan diturunkan, mengingat pentingnya kontribusi terhadap pendapatan daerah. Pemerintah daerah pun berupaya mencari sumber pendapatan baru, terutama dari sektor kelapa sawit dan industri kreatif.
Seperti diketahui Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur untuk menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam rangka revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dalam pertemuan di Kantor Wali Kota Balikpapan, para senator menegaskan pentingnya distribusi PNBP yang lebih adil bagi daerah penghasil sumber daya alam. Hadir dalam acara ini Wakil Gubernur Kalimantan Timur Ir. H. Seno Aji, M.Si, Wakil Wali Kota Balikpapan Dr. Ir. H. Bagus Susetyo, M.M, serta perwakilan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Selanjutnya, Komite IV DPD RI mencatat beberapa permasalahan utama dalam pengelolaan PNBP di Kalimantan Timur, antara lain:
Pertama ; Ketergantungan pada sektor migas dan minerba tanpa optimalisasi sektor lain.
Kedua ; Kurangnya transparansi dalam mekanisme distribusi PNBP ke daerah.
Ketiga ; Dominasi pemerintah pusat dalam pengelolaan PNBP.
Keempat ; Kewenangan daerah yang terbatas dalam menentukan kebijakan fiskal.
Kelima ; Bagi hasil PNBP yang belum optimal bagi daerah penghasil.
Keenam ; Aturan daerah yang belum selaras dengan regulasi pusat.
Ketuk ; Dampak lingkungan dari eksploitasi SDA yang tidak diimbangi dengan pengelolaan PNBP berkelanjutan.
Kedelapan ; Perlu adanya peningkatan sanksi dan denda terhadap pelanggaran pengelolaan PNBP.
Sebagai solusi, Komite IV DPD RI mengusulkan beberapa rekomendasi strategis dalam revisi UU PNBP seperti Reformasi sistem distribusi agar daerah penghasil mendapatkan alokasi yang lebih adil.
Peningkatan transparansi dalam perhitungan dan penggunaan dana PNBP, Optimalisasi PNBP dari sektor non-migas seperti kehutanan dan perikanan.
Lalu Pemberian kewenangan lebih besar bagi daerah dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Integrasi kebijakan PNBP dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk meningkatkan kemandirian fiskal, serta Insentif bagi daerah dengan kontribusi besar terhadap PNBP.
PNBP Berkeadilan
Komite IV DPD RI menegaskan bahwa revisi UU PNBP harus mencerminkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil. DPD RI akan terus mengawal proses revisi agar kebijakan ini lebih transparan, akuntabel, dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat daerah.
“Kami ingin memastikan bahwa kontribusi daerah benar-benar dihargai dalam bentuk kebijakan fiskal yang lebih adil,” tutup Ahmad Nawardi.
Dengan revisi UU PNBP yang lebih berpihak kepada daerah, diharapkan pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat secara berkelanjutan.
)**Tjoek