Jayapura (Uritanet) :
Komite I DPD RI melakukan kunjungan kerja ke Kota Jayapura, Papua, pada 17 Februari 2024 untuk meninjau pelaksanaan program reforma agraria dan penyelesaian konflik pertanahan di wilayah tersebut. Pertemuan berlangsung di Kantor Gubernur Papua dan dihadiri oleh jajaran Pemerintah Provinsi Papua serta unsur Forkopimda, termasuk Kodam XVII Cenderawasih, Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Tinggi, Lantamal X Jayapura, Lanud Silas Papare, dan Kepala BPN Provinsi Papua.
Wakil Ketua Komite I DPD RI, Carel Simon Petrus Suebu, memimpin rombongan yang terdiri dari sejumlah senator, seperti Dr. H. Muhdi, SH, H. Achmad Azran, Sultan Hidayat M.Sjah, H. Syarif Mbuinga, Hj. Leni Haryati John Latief, Sopater Sam, Paul Finsen Mayor, TGH. Ibnu Halil, Pdt. Penrad Siagian, Aanya Rina Casmayanti, dan H. MZ. Amirul Tamim.
Pj. Gubernur Papua, Ramses Limbong, menyampaikan bahwa Pemprov Papua telah membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) melalui Keputusan Gubernur Nomor 188.4/41/Tahun 2024 pada 19 Januari 2024. Tim ini bertugas mengawal pelaksanaan reforma agraria di Papua dengan fokus pada dua aspek utama, yaitu penataan aset dan penataan akses.
Pada aspek penataan aset, GTRA bekerja sama dengan kementerian dan OPD terkait untuk melegalisasi tanah ulayat, tanah masyarakat pesisir, dan tanah di wilayah perbatasan dengan pendekatan partisipatif. Sementara itu, dalam penataan akses, GTRA berkolaborasi dengan berbagai pihak guna mengembangkan program pemberdayaan berbasis lokal, seperti pengelolaan tanah masyarakat dan hutan adat di Kabupaten Jayapura.
Konflik Pertanahan di Papua Jadi Sorotan
Ramses Limbong menegaskan bahwa konflik pertanahan di Papua banyak berkaitan dengan kepemilikan tanah adat atau tanah ulayat, termasuk lahan yang berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesepahaman antara semua pihak, termasuk tokoh adat, untuk menyelesaikan permasalahan ini demi pembangunan Papua yang lebih baik.
Dalam pertemuan tersebut, Wakil Ketua III Komite I DPD RI, Muhdi, menyoroti tantangan pelaksanaan reforma agraria di era industrialisasi. Ia menekankan bahwa pesatnya pembangunan sering kali menyebabkan sulitnya penyediaan lahan bagi masyarakat, yang berujung pada sengketa atau konflik pertanahan, terutama di kawasan hutan.
Kepala BPN Provinsi Papua melaporkan bahwa pada 2024, pemerintah mempercepat reforma agraria melalui GTRA. Papua memiliki tujuh wilayah adat besar, sehingga diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat adat untuk menyelesaikan konflik tanah ulayat.
Senator Papua Barat, Paul Finsen Mayor, menekankan pentingnya keterlibatan tokoh adat dalam diskusi terkait reforma agraria. Hal ini diamini oleh Pdt. Penrad Siagian, senator asal Sumatra Utara, yang menyatakan bahwa masyarakat adat berhak memperjuangkan tanah ulayat mereka dan harus dilibatkan dalam proses penataan lahan.
Masyarakat Adat Desak Hak Ulayat
Perwakilan Lembaga Adat Jayapura meminta agar pemerintah tidak menerbitkan sertifikat tanah tanpa persetujuan masyarakat adat. Mereka juga mendukung pembentukan forum diskusi untuk menyamakan persepsi antara pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat terkait tanah ulayat di Papua.
Kunjungan kerja Komite I DPD RI diharapkan dapat memberikan solusi konkret terhadap permasalahan agraria di Papua dan memastikan kebijakan reforma agraria berjalan adil serta bermanfaat bagi masyarakat setempat.
)**Tjoek