Kalangan Seniman atau Budayawan Memiliki Pola-Pola Dari Masa ke Masa Untuk Menyeimbangkan Kekuasaan (Politik)

Uritanet, Jakarta –

Selalu ada pola-pola dari masa ke masa untuk menyeimbangkan kekuasaan dari kalangan seniman atau budayawan, yang oleh pakar sastra Jawa Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (29 Januari 1906 – 8 Juli 1995), tokoh-tokoh seperti itu disebut Kalangwan, yang dijadikan judul bukunya.

“Moralitas dari orang-orang Kalangwan itu sangat otonom. Tidak berdasarkan kebenaran agama atau kekuasaan. Ciri-ciri Kalangwan selalu otonom. Konsep diri mereka, ego. Dalam puisi-puisi Chairil Anwar atau buku Pramudya Anantatoer, pemberian kata aku memiliki dua arti: aku tentang diri sendiri atau yang bernakna kolekvitas,” ungkap Budayawan Taufik Rahzen dalam Diskusi Budaya bertajuk “Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini & Masa Depan: Melihat Kembali Jejak Chairil, Rendra, Hardi, dan Kita” di Teater Kecil TIM (10/1) malam.

Diskusi Kebudayaan tersebut sesungguhnya menakar peran seniman, budayawan, merespon perkembangan sosial politik masa kini yang mencerahkan masyarakat, dan penting bagi bangsa dan negara. Terlebih terkait etika, moral, dan bagaimana politik harus beradab agar bangsa selamat, sejahtera, adil, makmur di masa depan yang makin sulit.

Kalau masyarakat terlena atau dilenakan oleh prilaku politik, khususnya sebatas Pemilu dan Pilpres, perebutan kekuasaan, peradaban tentu terancam oleh kepentingan praktis sesaat, golongan, partai. Bangsa dan negara bisa terjerumus menjadi kelas budak di antara bangsa-bangsa di dunia.

Budayawan harus mencegah dengan memberi pencerahan kepada masyarakat agar memikirkan perabadan yang hendak dibangun, berani menyatakan kebenaran demi masa kini dan masa depan, punya sikap, tidak mudah terombang-ambing oleh perebutan kekuasaan semata.

Seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Japi Tambayong (Remy Sylado), Radhar Pancadahana dan lain-lain. Mereka kerap bicara lantang, jelas dan tegas (otonom) baik dalam karya maupun dalam bicara di publik menyatakan kebenaran, bukan malah ikut arus para kontestan Pemilu atau partai politik.

Selain Taufik Rahzen, diskusi dipandu oleh penyair Amien Kamil, juga menampilkan pembicara Bre Redana seorang wartawan dan Arahmaiani seorang yang tidak saja perupa tapi juga seorang penulis serta aktivis lingkungan ini.

Turut hadir pula seniman Butet Kartaradjasa, penyair Jose Rizal Manua, budayawan Isti Nugroho, politikus Miing Deddy Gumelar, Romo Mudji Sutrisno dan masih banyak lagi. Diskusi ini diadakan oleh kelompok semiman dan budayawan untuk merespon perkembangan sosial politik masa kini.

Taufik Rahzen menambahkan dalam penjelasannya, bahwa bagi para Kalangwan, keindahan adalah bagian dari tempat mereka berada. Meskipun berbeda-beda, bagi Kalangwan kebenaran selalu satu.

“Dari dulu masyarakat Nusantara selalu bertegangan antara dua ini. Antara kekuasaan dan agamawan. Para budaywan dan seniman selalu mengambil jalan keindahan. Tidak terlalu peduli dengan kekuasaan,” papar Taufik.

Sementara itu, mengenai sikap dan karya-karya yang dilahirkan oleh WS Rendra maupun Hardi, menurut wartawan senior Bre Redana, tidak terlepas dari pengaruh perguruan silat tempat mereka berlatih, yakni Perguruan Bangau Putih.

Di mata Bre Redana, Hardi adalah seorang pelukis yang kritis sekaligus kompromostis. “Dia bisa memaki-maki pemerintah, tetapi bisa menjual lukisannya kepada orang yang dimaki-maki,” kata Bre.

Sedangkan WS Rendra banyak memasukan pengaruh perguruan Bangau Putih yang menerapkan filsafat Taoisme. “Drama Mas Willlly Kisah Perjuangan Suku Naga, tokoh-tokohnya adalah personifikasi suhu Subur Rahardja, yang menikah dengan wartawan Amerika Louise Ansberry.”

Disisi lain perupa Arahmaiani mengarisbawahi bahwa WS Rendra adalah orang yang sangat mempengaruhi sikap dan pola pikirnya, juga dua bukunya yang diberikan kepadanya. Salah satunya Kitab Pararaton. Sehingga dirinya tertarik tentang budaya dan tradisi. Apalagi jaman Diktator Soeharto melihat tradisi budaya Jawa dipelintir oleh penguasa, tukas perupa perempuan ini.

Dan stimulasi dan inspirasi kehidupan hari ini dari dua sisi tersebut melahirkan pengetahuan modern yang dipengaruhi teknologi serta dari tradisi Indonesia yang hilang itu. Dari sanalah sikap kritis kerap mempertanyakan segala macam yang dihadapkan pada berbagai tantangan. Termasuk kritik pada etalase sistem ekonomi global yang kapalisitik dimana
kebudayaan hanya sebagai komoditas yang di perjualbelikan bahkan disalahpahami.

Kebudayaan tradisi Nusantara luar biasa dan relevan diaplikasi dalam konteks hari ini. Bhinneka Tunggal Ika masih bisa di akulturasikan, masih bisa dipertemukan. Bahkan bangsa barat kita justeru banyak mempelajari tradisi leluhur bangsa kita. Khususnya tertarik mempelajarinya dari
sisi non fisik atau dari sisi spiritual yang hilang. Seperti fakta Lingga Yoni sebagai fakta hadirnya kesetaraan gender yang dari dahulu sudah ada dan sudah dipahami leluhur kita.

Hari ini dan kedepan bagaimana kita membangun negeri kita sendiri. Membangun masa depan dan kita mulai dari bawah. Dari lingkungan alam dan lingkungan hidup di sekitar kita. Membangun kesadaran masa depan kita bersama sama. Mempelajari tradisi budaya leluhur kita dengan arif bijaksana, yang hidup bersama alam, bukan merusak alam. Kita menunggu pemimpin negeri ini yang mengerti, memahami dan mau melaksanakan tantangan masa depan bangsa ini, khususnya dimulai dari isu lingkungan saat ini, jelas Arahmaini.

Dan di penghujung diskusi Bre Redana pun menuntaskannya bahwa Kekuasaan bila Mandat Langit Sudah Tidak Ada lagi, maka akan Hilang dan Pemimpin yang tak ada lagi Harmoninya maka Jangan Dipilih.

)***Tjoek/foto DSP

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *