LaNyalla : Indonesia Makin Krisis Negarawan, Semua Lembaga Berpolitik, Termasuk Hakim Konstitusi

Uritanet, Jakarta –

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan bahwa Indonesia semakin krisis negarawan, karena semua lembaga sudah berpolitik praktis. Termasuk hakim konstitusi.

Seperti diketahui, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengungkap adanya manuver yang tidak lazim di dalam proses pengambilan keputusan di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

“Pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra itu menunjukkan bahwa MK, sebagai the guardian of constitution sudah tercemar tradisi politik. Ini tentu sangat buruk bagi Indonesia,” jelas LaNyalla (17/10).

Hakim MK Saldi Isra pun mengakui ada peristiwa aneh dalam putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang gugatan batas usia capres-cawapres.

“Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa,” kata Saldi saat membacakan dissenting opinion dalam putusan tersebut, Senin, 16 Oktober 2023.

Saldi melanjutkan, dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara.

“Hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang,” kata Saldi.

Selanjutnya, dalam perkara gelombang kedua yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus dalam perkara tersebut dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan.

Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden atau capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah.

Oleh karena itu, ditambahkan LaNyalla, bahwa sejak Indonesia menganut sistem liberal, dengan pemilihan presiden dan kepala daerah langsung dan dominasi partai politik sebagai pemegang kedaulatan, negeri ini semakin kehilangan jati diri, dan nilai-nilai adab, etika dan moral.

“Negara yang menganut liberalisme dan terseret ke neoliberal serta ekonomi yang kapitalistik, pasti ditandai dengan kemenangan materialisme atas idealisme. Itu sudah prinsip. Sehingga perilaku politik Indonesia semakin tidak punya malu, dan mendapat pemakluman dari elit. Rakyat terus diberi pertunjukan dan contoh buruk seperti itu,” urai LaNyalla.

Dan terkait batas usia capres dan cawapres, menurut LaNyalla, Indonesia negara besar, yang lahir dari peradaban besar kerajaan dan kesultanan Nusantara. Tidak bisa disamakan dengan negara-negara kecil di Eropa atau Skandinavia. Sehingga pemimpin Indonesia dibutuhkan orang yang matang dan dewasa secara usia.

Baca Juga :  Anas Urbaningrum Disambut ‘Nusantara Rindu Keadilan’

“Karena negara ini berdasarkan Ketuhanan, maka tradisi di dalam pemahaman agama, bahwa usia matang seseorang itu juga harus menjadi rujukan. Jangan ditabrak, hantam kromo begitu saja. Ini bukan negara suka-suka dan ujicoba,” pungkasnya.

Karena itu, sudah saatnya Indonesia menyadari kalau sistem saat ini semakin kebablasan dan semakin meninggalkan Pancasila. Sehingga harus kembali ke falsafah dasar negara ini. Sistem yang dirumuskan pendiri bangsa itu bukan sistem Orde Baru, tetapi sistem demokrasi Pancasila murni yang belum pernah diterapkan secara benar, tegasnya.

)***Tjoek

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *