Uritanet, Jakarta –
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Almas Tsaqibbirru Re A, mahasiswa asal Surakarta, mengenai uji materi undang-undang terkait batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dan sebelumnya sempat diputuskan penolakannya, mendapatkan respon negatif sejumlah pihak.
Pasalnya, ada dua permohonan yang nyaris sama tetapi memiliki keputusan yang berbeda. Dan respon tersebut di antaranya datang internal MK sendiri serta dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. Bahkan pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut mengaku kecewa dengan putusan MK karena memiliki motif yang berbeda.
“Ini bukan sekadar putusan atas suatu perkara, tapi ada motif tertentu. Sebagai keputusan MK, kita hormati, kita apresiasi. Tapi kita merasa seperti “ada udang di balik batu, ya”. Dalam bahasa Arab, kalimatu haqqin yuradu bihal bathil, keputusannya benar tapi untuk maksud yang tidak pas,” terang anggota Komite I DPD RI tersebut.
Kekecewaan tersebut, seperti negara yang sedang dipermainkan untuk tujuannya sendiri. Hal ini pun dianggap Gus Hilmy merusak independensi MK.
“Ini kok negara seperti dipermainkan. Permainan yang vulgar pula. Punya tujuan yang semestinya belum waktunya, tetapi dipaksakan melalui cara-cara dan menggunakan instrumen negara agar terlihat benar. Kalau memang belum waktunya, mengapa harus dipaksakan?” lanjut Gus Hilmy.
Dengan putusan MK tersebut, Gus Hilmy menganggap bahwa bangsa ini mengalami kemunduran.
“Ini menjadi titik kemunduran bangsa kita. Kepercayaan masyarakat terhadap MK rusak, MK sendiri sudah tidak independen, dan di sisi lain, kita berupaya membangun demokrasi sedemikian rupa, tetapi justru dirusak ketika menjelang pesta demokrasi,” tegas Gus Hilmy.
)**YuriAlgha/ Tjoek