Inilah “Temuan Penting NCW” Terkait Proyek Strategi Nasional Rempang Eco-City

Uritanet, Jakarta –

DPP Nasional Corruption Watch (NCW) mencatat “Tujuh Temuan Penting” pihaknya terkait Proyek Strategi Nasional (PSN) Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau, demikian jelas Hanifa Ketua DPP Nasional Corruption Watch (NCW) (2/10).

Temuan Pertama; Ketidakjelasan investor, dalam kaitan ini adalah Xinyi Glass, yang mempunyai rekam jejak buruk di dua proyek sebelumnya, seperti di Bangka Belitung dan Gresik.

“Dari data yang NCW temukan, sebelum Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$6-7 miliar,” jelasnya lagi saat konferensi pers di Kantor DPP NCW, Jakarta.

Terbukti, begitu akan dilanjutkan untuk proses MoA (Memorandum of Agreement), Xinyi Glass seperti raib dan hilang tanpa kabar berita, dan beredar alasan belum dilanjutkan proyek industri kaca terbesar di ASEAN oleh Xinyi Glass karena tidak tersedianya gas di kawasan Bangka Belitung Industrial Estate, Sadai Bangka Selatan, terang Hanifa.

Temuan Kedua; NCW pun mencatat Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco City Rempang belum menyelesiakan studi analisa dampak lingkungan (AMDAL).

Baca Juga :  Persidangan Dirjen Pajak Melawan PT. SBS ‘Galau’ Mendalilkan Waktu Pemeriksaan Pajak Lebih Bayar Tetapi Disatu Sisi Menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan Pemeriksaan

Sedangkan untuk Temuan Ketiga; NCW menemukan ketidaksesuaian pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia soal 80% masyarakat yang terdampak PSN tersebut bersedia relokasi. Faktanya rakyat di lapangan, berdasarkan hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80% masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas Hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru, lanjut Hanifa.

Selanjutnya, berdasarkan informasi yang diambil dari sumber terpercaya, Temuan Keempat; Ditemukan data dan fakta bahwa pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat belum disalurkan oleh pemerintah pusat, apalagi Badan Pengawasan Batam.

Selain kami juga menemukan akar masalah konflik lahan di Pulau Rempang sudah terjadi pada tahun 2001. Di mana berawal dari diterbitkannya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Pemerintah Pusat dan BP Batam.

Temuan Kelima; NCW menemukan di lokasi adanya upaya intimidasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang mendesak masyarakat untuk angkat kaki dari wilayah terdampak PSN di Pulau Rempang.

Baca Juga :  JNE – POLRI MoU Pengawasan Peredaran Narkoba

Terakhir, Hanifa bersama NCW mempertanyakan pernyataan Kepala BP Batam soal Setoran Uang Wajib Tahunan (UWT) yang meminta dana APBN, padahal konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta PT MEG.

“Hitungan UWT dimaksud apakah 7000 rupiah dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7000an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun.

)**Benksu/ Tjoek

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *