Uritanet, Jakarta-
Komite III DPD RI tengah melakukan penyusunan pandangan dan pendapat terkait RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang dianggap penting, karena selama ini hubungan kerja PRT dengan pemberi kerja dilakukan berdasarkan lisan sehingga rawan terjadinya eksploitasi dan kekerasan.
Seperti diketahui lemahnya posisi PRT secara ekonomi dan ketidakberdayaan secara fisik maupun mental telah menyebabkan berbagai pelanggaran atas hak-hak PRT sehingga tidak dapat ditangani atau diproses hukum.
“Untuk itu kami berharap RUU ini bisa segera disahkan,” ucap Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri saat RDPU tentang Perlindungan PRT di Gedung DPD RI, Jakarta (22/5).
Dan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak PRT menjadi salah satu pertimbangan lahirnya Konvensi ILO 189 tahun 2011, tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Setelah lebih dari satu dekade, hanya sekitar 35 negara yang meratifikasi konvensi ini dan masih ada 152 negara lagi yang belum meratifikasinya, termasuk Indonesia.
“RUU Perlindungan PRT sempat terhenti dan melambat prosesnya. Pada akhirnya disahkan oleh Paripurna DPR RI menjadi RUU Usul Inisiatif DPR RI yang akan dibahas pada tahun 2023 ini. Ke depannya, diharapkan dengan adanya UU ini, paradigma dan perilaku pemberi kerja atau masyarakat yang memarjinalkan hak-hak PRT akan hilang,” harap senator asal Kalimantan Utara ini.
Bahwa kehadiran PRT sejauh ini dilatarbelakangi dua faktor utama yaitu kemiskinan dan kebutuhan tenaga di sektor domestik yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Dengan demikian sebagai warga negara, PRT memiliki hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara.
“Untuk itu, negara memiliki tanggung jawab dalam memposisikan dan memperlakukan PRT sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya,” terangnya.
Sedangkan anggota DPD RI asal Provinsi DKI Jakarta Sylviana Murni menilai PRT rata-rata adalah perempuan maka perlu juga memperhatikan jaminan sosial, jam kerja yang jelas, dan cuti. Hal-hal ini yang perlu diperhatikan bagi pemberi kerja.
“PRT rata-rata merupakan perempuan maka hak-haknya perlu diperhatikan seperti jaminan sosial, jam kerja, dan cuti melahirkan,” lontarnya.
Selanjutnya Anggota DPD RI asal Provinsi Jawa Barat Amang Syafrudin berharap bahwa RUU ini bisa mengangkat harkat dan martabat khususnya kaum hawa. Menurutnya PRT rata-rata adalah perempuan maka martabatnya harus terjaga, jangan sampai pekerjaan ini justru dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan keluarganya.
“Ketika RUU ini disahkan, maka harus betul-betul mengangkat harkat dan martabatnya. Apalagi PRT ini merupakan perempuan maka harkat dan martabatnya perlu dijaga di lingkungan keluarga ataupun masyarakat,” imbuhnya.
Sementara Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT melalui pengesahaan RUU Perlindungan PRT sejalan dengan dasar Pancasila terutama sila kedua dan kelima. Selain itu pengakuan dan perlindungan hukum ini juga berdampak pada perubahan positif pada situasi pembangunan manusia dan peningkatan ekonomi perempuan yang lebih luas.
“Kondisi kerja tidak layak ini harus segera diperbaiki sebagai bagian dari penguatan pembangunan manusia perempuan Indonesia. Untuk itu dibutuhkan pemenuhan tanggung jawab negara untuk hak konstitusional perempuan pekerja dengan pengajuan dan perlindungan hukum PRT sebagai pekerja,” jelasnya.
Disisi lain, Wakil Ketua Umum IWAPI Rinawati Prihatiningsih membenarkan bahwa PRT rentan terjadi eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja. Hal tersebut dikarenakan belum ada payung hukum berupa peraturan perundang-undangan yang melindungi PRT.
“Perlindungan terhadap PRT ditujukan untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pembunuhan hak-hak PRT. Hal ini juga menyangkut pada prinsip fundamental DUHAM, CEDAW, dan Konvensi ILO,” paparnya.
)**Tj/Nawasanga